Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tamu

18 April 2019   21:07 Diperbarui: 18 April 2019   21:17 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nyatanya aku yang salah. Merantau ke Jakarta tak membuahkan hasil. Aku terpinggir berumah di pinggir kali. Bukan berumah sebenarnya, melainkan menyewa rumah. Sementara dari tahun ke tahun, terkabar penghidupan Ir meroket. Bahkan delapan tahun berlalu, dia telah menjadi juragan. Kabar dia berkunjung ke Jakarta, kutahu dari sepupunya, si Mirsan. 

* * *

Akhirnya Ir benar-benar membuatku gugup. Bukan perkara dia datang mengendarai mobil super mewah. Melainkan dia diantar BMW alias Becak Mang Wahab. Dia bersendal jepit, bercaping, setelan baju-celana; putih-putih. Tampilan yang jauh dari harapanku. 

 "Hai, kawan lama!" Dia langsung memelukku erat-erat. Hatiku remuk bersama pelukannya. Tak ada tatapan kagum tetangga yang melintas di jalan, bahwa aku menerima tamu istimewa. Dari bau tubuh Ir, pun kutebak dia akan membebaniku. Mungkinkah cerita tentang juragan terkenal itu isapan jempol semata?

"Tak kesasar ya, Ir? Mirsan tak mengantarmu?" 

Dia langsung duduk di kursi ruang tamu. Istriku yang tiba-tiba muncul dari dapur dengan sebagian wajahnya berlepot tepung, langsung disalaminya erat-erat. Istriku terlihat gugup. Mungkin sama sepertiku, terkejut karena sosok Ir tak sesuai harapannya. Istriku juga menoleh ke halaman. Kosong! BMW tadi sudah pergi.

"Mirsan mengantarku sampai pengkolan ujung jalan. Dia mau belanja ke pasar. Nanti sore mungkin dia datang menjemputku."

Rasanya tak enak bercerita sebelum bersantap siang. Perutku juga sudah melilit-lilit meminta makan. Sambil bersantap, kami bercerita panjang-lebar. Tentang kehidupanku, juga kehidupan Ir sebagai juragan terkenal.

"Siapa bilang aku juragan terkenal? Haha, bisa saja!" Dia mengelap mulutnya yang berlepotan sambal. Sambil mendecak-decak karena mungkin ada sayur kangkung menyela-nyela giginya, dia mengarah ke ruang tamu. Dua cangkir kopi yang masih mengebul sudah terhidang di situ. Juga dua tangkup kacang kulit. 

"Kau tak bekerja?"

Entah mengapa, aku menjadi kurang respek kepada Ir. Pertanyaannya hanya kujawab dengan gelengan. Seharusnya sekarang aku sedang di rumah Mir---berdandan atap rumahnya yang bocor. Tapi demi kemustajaban tamu agung, pekerjaan itu terpaksa kutangguhkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun