Membayangkan kedatangan Ir, membuat badan ini panas-dingin. Berkali-kali kupandang halaman depan rumah yang becek. Layakkah halaman rumah itu menerima mobilnya yang super mewah? Bagaimana pula tanggapan para tetangga?Â
Seumur-umur aku belum pernah bertamu orang penting kecuali Juragan Parkisun yang tenar sekampung kumuh ini. Itu pun karena dia ingin menagih hutang kepadaku. Atau, sesekali aku bertamukan Pak Rt.Â
Para tetangga tentu akan merubung di halaman. Beberapa melongok dari pintu yang sempit. Banyak pula kelak yang bertanya-tanya tentang sosok Ir. Banyak pula yang sebelumnya melecehkan keluargaku, berbalik menyanjung. Yang biasa manyun, doyan tersenyum.
"Dia kerja apa ya, Pak?" tanya istriku setelah selesai menyiapkan hidangan yang bagi kami cukup mewah demi menyambut kedatangan Ir.
"Ir seorang juragan terkenal, Mar!" jawabku sambil melongok dari pintu. Melihat ke ujung jalan, kalau-kalau ada mobil mewah melintas.
"Juragan seperti Parkisun, ya?"
Aduh, lambatnya si Mar ini kalau berpikir. Parkisun lain. "Ir itu juragan karet dan kopi. Tauke, atau depot penerima hasil bumi. Kalau Parkisun kan hanya rentenir!"
"Oh, juragan tokek juga, ya? Buat apa?"
"Tauke! Bukan tokek!"
Si Mar masuk sambil ngedumel. Hatiku bertambah gelisah.Â
Sebentar, kuceritakan kepadamu tentang Ir biar hatimu tak bertanya-tanya. Ir itu teman sepermainanku di kampung. Dulu sekali, kami sama-sama udik. Sama-sama miskinnya. Tak tahan dengan jerat kemiskinan, setelah berkeluarga, aku memilih hengkang ke Jakarta. Merantau mencari penghidupan yang lebih layak. Ir yang betah mengolah sepetak kecil kebun karet peninggalan ayahnya, menetapkan hati tetap bertahan menjadi udik sepanjangan. Tak perduli dia atas ajakanku. Dalam hati, sempat juga aku mencemooh kelambanan otaknya. Hijrah itu perlu!