"Jangan-jangan, juragan terkenal itu hanya bohongan, Pak!"
"Aku yakin bohongan juga, Bu. Jam tangan, sepatu baru dan ikat pinggang TNI-ku itu mana?"
"Kenapa? Barang-barang itu ada di kamar."Â
Aku mendehem. "Nanti dia minta pinjam pula. Aduh, menyesal rasanya bertamukan dia. Bukannya memberi kelapangan, malah membuat kita sesak napas. Dia mungkin masih semiskin dulu."
"Padahal tamu itu kan mendatangkan rejeki, Pak!"
"Kali ini menghanguskan rejeki, iya!" Kupukul telapak tangan kiriku dengan kepalan tangan kanan. Seiring kudengar suara langkah di ruang tamu. Moga-moga saja Ir sempat menguping pembicaraan kami. Biar dia lekas pergi karena tak enak hati. Tapi adakah dia memiliki hati? Setahuku, hatinya setebal kulit badak. Susah dilukai.
"Sudah bangun, Ir? Cepat sekali tidurnya," kataku berbasa-basi. Dia sudah duduk di kursi tamu sambil menghabiskan sisa kopinya.
Setelah aku duduk di hadapannya, barulah Ir berkata, "Bagaimana tentang tawaranku barusan?"Â
"Kebun pala itu tak akan dijual, Ir!"
Ir merasa serba salah. Ada semburat kecewa di wajahnya. "Wah, sayang sekali. Padahal tanah kebun pala itu sangat cocok dengan rencanaku." Dia terdiam. "Sebenarnya aku berniat mau membangun masjid di situ. Kasihan, setiap akan shalat Jum'at, warga kampung kita terpaksa menyeberang ke kampung tetangga."
Seketika jantungku berdegup kencang. Ada sebersit rasa bersalah menggeliat hati. Tapi, adakah ini sandiwara Ir? Apakah dia hanya ingin mengambil muka?