Ya, ya. Aku berharap banyak kepada Ir. Semisal diberikan uang untuk melunasi hutang-hutangku. Terlebih aku berharap dia memodaliku. Jadilah menjadi pedagang kaki lima di Tanah Abang. Atau, kalau dia suka, mengajakku pulang kampung. Menyediakan tempat pemondokan untuk keluargaku---sebab rumah di kampung sudah tergadai untuk modal merantau ke Jakarta. Sekalian saja aku menjadi tangan kanan Ir, atau setidak-tidaknya kebagian menimbang getah karet dan bulir-bulir kopi.Â
Sekarang, yah... yang kutakutkan Ir malahan menambah kemasygulan hidupku. Seperti tabiat masa lalu, dia sering menjadi benalu bagi kawan sendiri. Memang dia tak memoroti uang, melainkan suka berkata begini, "Wah, jam tangan kau bagus, ya? Aku jadi ingin memilikinya." Atau, "Bagus sekali sepatumu. Kalau kau beri pinjam sehari saja, tentu terasa megah rasanya." Biasanya ketika barang sudah dikasih pinjam, Ir suka lupa mengembalikan. Kecuali ditagih berulang-ulang.
Ujung-ujung perbincangan yang meliuk-liuk, dengan halimun asap rokok memenuhi ruang tamu, aku mendadak tersedak. Apa yang kukuatirkan terbukti sudah. Ir mengingatkanku tentang kebun pala warisan Ayah yang dikelola adik bungsuku. Dari suaranya yang mendayu-dayu, kutahu ada maksudnya menjualkan kebun itu.Â
"Maksudmu kau mau menjualkan kebun itu?" Bibirku bergetar. Ingin marah rasanya. Tapi tamu adalah raja yang pantang dimarah. Dengan memanis-maniskan senyum, kutarik napas dalam-dalam.Â
"Menjualkan?" Dia tertawa kecil. "Hmm, sebetulnya.... Ah, sudahlah!"
Selain menjadi benalu bagi kawan sendiri, dulu Ir juga seorang kampiun calo di kampung. Apa saja bisa dijadikannya barang caloan. Dari tanah sampai pakaian. Dari rumah sampai kandang ayam. Tak lepas pula tabiatnya yang satu itu. Sambil menggaruk-garuk kepala, aku pura-pura sibuk memanggil istriku yang pergi entah ke mana.
"Bagaimana, Mul? Adikmu sudah setuju," lanjut Ir.
Darahku bergolak. Tapi sekali lagi tamu adalah raja yang pantang dimarah. Kualihkan saja perbincangan tentang cerita orang-orang di kampung. Juga, tentang rencana Ir keliling Jakarta. Beruntunglah akhirnya dia menguap lebar-lebar. Kupersilahkan dia istirahat sebentar, sekalian aku bisa berbincang dengan istriku.
* * *
"Jadi, Ir ingin menjualkan tanah warisan itu?" bisik istriku.
"Iya!" Kupelankan suara. "Pastilah dia mendapat keuntungan besar. Mendapat persenan dari pembeli dan meminta persenan kepada kita. Itu tabiatnya dari dulu. Kami memang akrab, tapi dia sering mengesalkan hati."