Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tembang Pematang Siojo

18 April 2019   12:41 Diperbarui: 18 April 2019   13:03 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi: pixabay

Bola-bola salju turun lagi. Selalu begini setiap kali bunga rumput menerbangkan benihnya bersama angin yang ramah. Anak-anak di sepanjang pematang Siojo, bergairah melihat langit dipenuhi salju. Anak-anak berusaha meniupnya sehingga tak turun ke tanah.

Kau tahu, aku adalah salah seorang pengagum salju itu? Terkadang dia nakal dan hinggap di rambutku. Kuelus tubuhnya yang sehalus kapas. Kutiup hingga dia terbang ke angkasa. Ah, suatu kali aku ingin terbang bersamanya. Terbang ke angkasa menyusuri setiap lembah. 

 "Kau lihat bunga-bunga rumput itu? Kau seperti mereka. Lembut dan menggoda." 

Senja belum jatuh. Itu untuk pertama kalinya kau berani memujiku setelah hampir lima belas tahun kita selalu satu sekolah dan di kelas yang sama. Rambut pirangmu riap-riapan dipermainkan angin. Aku melihat kornea matamu. Hmm, sangat indah dan membuatku jengah. Untuk pertama kalinya pula kau terlihat tampan. Untuk pertama kalinya aku merasa kikuk berada di sebelahmu. Aku tahu kau sedikit kecewa ketika aku berlari menjauhimu menuruni pematang Siojo. Bukan karena aku tak suka pujian. Bukan! Aku suka. Sangat suka. Tapi siapa yang bisa menahan kikuk, apalagi aku tiba-tiba menyukaimu dengan rasa lain dari biasanya.

* * *

Kelas baru. Wangi juga baru. Dua hari lalu kelas ini dicat. Aku dan Imah tak hanya merasakan kelas baru, tapi sekolah baru, juga status baru. Anak SMA. Hmm, siapa yang mengira waktunya telah tiba. Seragam putih abu-abu.

"Ikram tak melanjutkan sekolah, ya?" Imah lebih dulu memilih bangku di sudut kanan paling depan. Aku mengambil posisi di sebelahnya

 "Ya!" jawabku singkat. Ada galau melingkupi dada saat mendengar nama Ikram. Sekarang aku memang benar-benar sekelas dengan Imah. Namun sebaliknya aku kehilangan cowok yang diam-diam mulai kucintai. Kami tak lagi berada dalam kelas yang sama. Bahkan bukan pula dalam sekolah yang sama. Bukan dalam status sama; sebagai anak didik alias siswa. Ikram putus sekolah!

"Kenapa dia tak melanjutkan sekolah? Sayang, kan! Padahal dia itu cerdas." Imah, meskipun selalu menyembunyikan perasaannya, namun aku tahu dia mencintai Ikram. Barangkali melihat Ikram lebih sering berdekatan denganku, Imah diam-diam memendam perasaan itu. "Tak berusaha kau tanyakan kepadanya?"

Aku mendesah. Aku menatap langit-langit kelas dengan dua ceiling fan yang berputar pelan.

Aku telah bertemu Ikram sepekan lalu. Dia terlihat lesu ketika duduk sendirian di pematang Siojo. Bunga-bunga rumput sedang sepi. Langit terang. Terlalu terang untuk waktu menjelang senja.

Pelan aku duduk di sebelahnya, seakan takut dia akan terganggu. Kataku, "Apakah aku tak mengganggu bila duduk di sebelahmu?" Ikram tersenyum, samar dan sangat dipaksakan. Pertanda bahwa dia selalu menerimaku, meskipun dia berada dalam kondisi sekusut apapun. "Kau tak melanjutkan sekolah, Ikram?"

"Ya?"

"Kenapa? Bukankah kau ingin menjadi seorang guru? Kau bilang terlalu sedikit guru yang rela mengajar di kampung kita."

"Itu dulu, Yam! Sekarang tidak, setelah Bapak menyuruhku ke kota. Aku sudah berusaha menolak. Kataku, aku ingin tetap bersekolah dan menjadi seorang guru. Bapak bersikeras. Paman Arnal pun sudah berjanji tiga minggu lagi menjemputku. Kata Bapak lebih baik mencari duit di bengkel milik Paman ketimbang bersekolah." Dia berdiri, mengajakku pulang demi menghindari cerita yang hanya melarutkannya dalam keluh-kesah, dan membuatnya menjadi cowok yang cengeng.

"Yam! Kau melamun? Melamunkan Ikram, ya?" Imah menyikutku. "Tuh, pelajaran akan dimulai."

Aku melihat seorang perempuan gendut sudah duduk di meja guru. Dari balik kaca matanya dia menatapku sekilas. Mungkin ingin mengatakan, "Ini kelas, bukan tempat untuk melamun!"

* * *

Sekarang aku masih sering bermain di pematang Sioji. Tak lagi bersama Ikram. Selain anak-anak yang berkejaran riuh, ada cowok lain yang menggantikan posisi Ikram. Ahmad, namanya. Anak Pak Lurah yang terlalu sering membantu keuangan keluargaku. Meskipun dia lebih gagah dan tampan dari Ikram---tentu saja lebih kaya---toh aku tetap merasa ada yang hilang. Ahmad selalu berjuang memberikan yang terbaik bagiku. Sayang, aku selalu merasakan sebaliknya, yang terburuk.

"Besok ada ulangan matematika. Kau sudah siap?" Ahmad menggaris-garis tanah dengan ujung ranting. Sebuah bunga rumput turun mendekati wajahnya. Dia sigap meniupnya kuat-kuat. Bunga rumput itu terbang menjauh diperebutkan anak-anak.

"Sudah!" jawabku singkat. Sungguh, aku sangat tak ingin seorang seperti Ahmad mengganggu kesendirianku. Tapi menolak kedatangannya sama saja aku melupakan setiap bantuan orangtuanya. Emak dan Bapak pun kelihatan setuju melihat kami berteman akrab. Pernah sekali Emak mengkhayal, Ahmad bakal menjadi menantunya. Hahaha, aku pikir khayalan itu terlalu tinggi. Lagi pula untuk membincangkan masalah menantu, sepertinya masih butuh waktu lama. Aku lebih mementingkan sekolah dan membantu Emak dan Bapak.

"Kau masih mengingat Ikram terus, ya?" Nada bicara Ahmad ketus. Sejak aku SMP, Ahmad sudah membenci kedekatanku dengan Ikram. Begitupun dia tak bisa bertingkah macam-macam karena tahu kalau Ikram jago karate. "Sudahlah, dia telah menjadi orang kota. Dia sudah melupakan kampung kita. Melupakanmu 

"Aku yakin dia masih ingat cita-citanya menjadi seorang guru. Tak sekarang, tapi nanti dia mungkin akan melanjutkan pendidikan dan mengabdi di kampung kita."

Ahmad mencibir. Aku membuang pandang. Sedih rasanya Ikram dilecehkan oleh Ahmad. Ketimbang hati panas, aku buru-buru menuruni pematang Siojo. Ahmad memanggil dan mengejarku turun. Aku pura-pura tak mendengar dan berusaha lebih cepat melangkah.

* * *

Sepedaku meluncur pelan menuju sekolah. Sekali-sekali aku membunyikan kliningan agar anak-anak SD yang berjalan searah denganku, sedikit melapangkan jalan. Hari ini adalah hari keduaratus Ikram menetap di kota. Pagi ini ada berita yang kutunggu-tunggu di sekolah. Apalagi bukan berita yang dibawa Imah.

Tiga hari lalu Imah bersama seluruh keluarganya menghadiri acara resepsi pernikahan abangnya di kota. Dia berjanji akan mencari alamat Ikram, meskipun itu sulit. Apakah Ikram sehat-sehat saja? Apakah dia masih komit dengan cita-citanya menjadi seorang guru? 

"Pokoknya beritanya kukemas apik khusus untukmu. Tunggu saja Senin pagi di tempat biasa, kantin sekolah yang menggoda." Terngiang celoteh riang Imah.

Sepeda semakin kupacu. Atap sekolah samar telihat bersinar diterpa cahaya matahari. Seorang cewek menyandang tas panda, memasuki gerbang dengan langkah gontai. Aku ingin menyusulnya. Namun aku memilih diam-diam saja menunggunya di kantin. Biar lebih asyik dan afdol. Aku akan memesan dua mangkok mie pecel dan dua gelas teh hangat. Ya, anggap saja uang lelah bagi Imah karena bela-belain menjadi inforwoman demi berita mengejutkan tentang sosok Ikram.  

"Hai, sudah duluan, ya! Belum masuk kelas?" Imah menyusulku sambil lalu melihat tas yang masih kusampirkan di bahu.

"Seperti janji sebelumnya, berita hangat itu akan kita buka di sini. Bagaimana? Bagaimana tentang semangkok mie pecel dan segelas teh hangat?' tawaku berderai.

Imah hanya mengambil sepotong tempe goreng. Dia menolak makan yang berat-berat di pagi yang cerah ini. Kata Imah, perutnya sedang mengulah.

"Beritanya memang hangat, Yam. Tapi membuat sakit hati." Dia terdiam sebentar. Aku merasa-rasa ada yang tak beres. Jantungku tiba-tiba berdegup tak karuan. "Aku memang berusaha mencari Ikram, tapi tempat tinggalnya tak ketemu."

"Yah, gagal dong berita hangatnya. Tapi tak apa-apalah. Yang penting kau sudah berusaha, Mah!" Aku masih berusaha bercanda mendengar keseriusan Imah.

"Tapi aku tanpa sengaja melihat Ikram sedang berjalan berdua dengan seorang cewek, Yam. Akrab banget! Gaya Ikram sudah kekota-kotan, Yam."

"Kenapa kau tak menegurnya?"

"Buat apa? Nanti malahan mengganggu mereka." Dia menepiskan tangan. "Alah, lupakanlah Ikram, Yam. Lupakan cita-citanya. Lupakan rasa cintanya?"

"Cinta? Memangnya dia mencintaiku? Lagi pula untuk apa memikirkan cinta-cintaan? Kami hanya teman. Sebatas teman. Ingat, ya!" Aku melotot. Imah cemberut. Ketika tawanya berderai, ada rasa sakit yang menyelip di hatiku. Apapun ceritanya, kedetakan antara Ikram dengan cewek kota, telah membuatku cemburu. 

Ah, kenapa bisa begini? Kenapa aku yang kege-eran? Belum pernah sekalipun Ikram mengungkapkan cinta kepadaku, kecuali tentu saja sebatas rasa kagum. Kenapa aku ingin yang lebih dan sangat serius? Iyam, Iyam! Sadarlah!

Aku terjerat bayang-bayang Ikram hari demi hari. Semakin kucoba melupakannya, semakin lekat rasa cinta bercampur cemburu menggerogoti dada. Di akhir kecamuk rasa, aku mendadak menemukan rasa benci kepada Ikram. Bukan karena dia---mungkin---berpaling ke lain hati, melainkan dia telah melupakan cita-citanya menjadi seorang guru dan termakan hasutan kota.

* * *

Sas-sus kedatangan Ikram membuat hatiku tak karuan. Aku berusaha sedapat mungkin menghindari pertemuan dengannya. Walaupun Imah berkali-kali menceritakan penampilan Ikram yang berbeda, aku berusaha seperti kura-kura dalam perahu. Pura-pura tidak. Tahu.

Hari-hariku hanyalah di rumah dan sekolah. Tak ada lagi rutinitas mengunjungi pematang Siojo, meskipun ada kabar bagus bahwa panen bunga rumput sedang tiba. Banyak anak-anak berebut salju-salju itu sambil bermain layang-layang. Selain cuaca bagus, angin cukup kencang sekadar membubungkan layang-layang ke puncak yang tertinggi.

"Kau tak ke pematang, Yam?" sapa Emak dari ruang tengah. Aku pura-pura tak mendengar dan mencoba asyik dengan majalah cerpen remaja sambil tengkurap di atas kasur. "Kau juga belum bertemu Ikram? Kemarin dia menunggumu di depan rumah. Tapi karena takut melihat bapakmu yang baru pulang dari pasar, dia buru-buru pergi. Padahal kau mendengar dia memanggilmu, kan?" Bapak memang sejak dulu tak menyenangi Ikram. Bukan karena kondisi keluarganya yang lebih miskin dari kami, melainkan bapak Ikram, biasa dipanggil Pak Iis, adalah mantan rivalnya.

Dulu Bapak berpacaran dengan ibu Ikram. Namun kehadiran Pak Iis yang gagah perkasa dan pesilat kampung, membuat pamor Bapak turun drastis. Belakangan ibu Ikram menikah dengan Pak Iis. Itulah yang menyebabkan Bapak tak ingin Ikram mendekatiku. Dia bagai ingin membalaskan sakit hatinya. 

"Biarlah, Mak! Dia itu sekarang sudah menjadi orang kota. Mana mungkin dia mengingatku."

"Kenapa? Ikram kan teman akrabmu!"

"Dari dulu Bapak tak menyenanginya."

"Oh, gara-gara itu!" Emak paling tak mau memperpanjang obrolan bila menyangkut ketaksenangan Bapak terhadap Ikram. Bisa mengungkit rasa cemburu Emak!

* * *

Sepedaku yang melaju kencang, mendadak dihadang seseorang. Aku tak bisa mengerem, lalu menabrakkan sepeda ke tubuh orang itu. Sepeda terguling ke semak-semak pinggir jalan, sontak menimpa tubuhku. Sakit rasanya. Apalagi lututku lecet-lecet karena terantuk aspal.

Orang itu mendekat dengan wajah merasa bersalah. Dia mengulurkan tangan setelah memberdirikan sepedaku. Namun aku membuang wajah. Aku meringis sambil berusaha berdiri tanpa dibantu siapapun.

"Maaf, aku sengaja melakukan ini. Namun aku tak menyangka kau bakalan terjatuh."

"Maaf, maaf! Dasar orang kota tak tahu diri." Aku merengut. Dia memegang tanganku yang buru-buru kutepiskan. Orang itu si brengsek Ikram yang mencoba mengaduk-aduk kembali hatiku yang kadung kusut.

"Kenapa kau selalu ingin menjauhiku?"

"Karena kau telah menjadi orang kota. Kau telah mabuk kota. Lupakah kau cita-cita hendak menjadi guru itu?"

Ikram tertunduk. Ketika aku duduk di tembok pembatas jalan dengan sawah di seberangnya, Ikram menyusulku. Dia duduk dengan kepala ditekuk. Dia menarik napas berat, seolah-oleh napasnya tak ingin dihembuskan lagi.

"Aku masih ingat cita-citaku. Bahkan sebulan lagi aku akan ke kota Medan. Aku disekolahkan Paman Arnal dibantu oleh seorang rekan bisnisnya. Aku akan melanjutkan pendidikan sampai ke perguruan tinggi. Sampai bergelar sarjana pendidikan dan mengajar di kampung kita. Bukankah ini cerita yang sangat menarik? Paman Arnal tak ingin memaksaku mentok menjadi montir karena itu tak sesuai dengan kata hatiku." Kata-katanya bersemangat. Tapi wajahnya tetap kuyu.

"Wah, bagus kalau begitu!" 

Dari ujung jalan sebuah mobil melaju pelan. Seorang cewek muncul di jendela mobil sambil melambai, menyuruh Ikram cepat masuk. "Dialah temanku melanjutkan pendidikan ke Medan. Karena kami sudah ditunangkan."

"Selamat!" ucapku terbata. Hatiku seperti meledak. Secepat itukah?

Punggung Ikram menghilang di dalam mobil yang segera melaju pelan. Kurasakan tubuhku goyah. Aku terseok-seok mendorong sepeda menuju sekolah. Sudah cukup terlambat bagiku untuk masuk pelajaran pertama. 

Aku tak melihat lagi mobil yang membawa Ikram pergi. 

Ah, aku senang dia bisa mewujudkan cita-citanya. Hanya saja dia telah melupakan cintaku yang mulai tumbuh menyemai jiwa.  Di timur, matahari semakin meninggi.

---seklian---

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun