Pelan aku duduk di sebelahnya, seakan takut dia akan terganggu. Kataku, "Apakah aku tak mengganggu bila duduk di sebelahmu?" Ikram tersenyum, samar dan sangat dipaksakan. Pertanda bahwa dia selalu menerimaku, meskipun dia berada dalam kondisi sekusut apapun. "Kau tak melanjutkan sekolah, Ikram?"
"Ya?"
"Kenapa? Bukankah kau ingin menjadi seorang guru? Kau bilang terlalu sedikit guru yang rela mengajar di kampung kita."
"Itu dulu, Yam! Sekarang tidak, setelah Bapak menyuruhku ke kota. Aku sudah berusaha menolak. Kataku, aku ingin tetap bersekolah dan menjadi seorang guru. Bapak bersikeras. Paman Arnal pun sudah berjanji tiga minggu lagi menjemputku. Kata Bapak lebih baik mencari duit di bengkel milik Paman ketimbang bersekolah." Dia berdiri, mengajakku pulang demi menghindari cerita yang hanya melarutkannya dalam keluh-kesah, dan membuatnya menjadi cowok yang cengeng.
"Yam! Kau melamun? Melamunkan Ikram, ya?" Imah menyikutku. "Tuh, pelajaran akan dimulai."
Aku melihat seorang perempuan gendut sudah duduk di meja guru. Dari balik kaca matanya dia menatapku sekilas. Mungkin ingin mengatakan, "Ini kelas, bukan tempat untuk melamun!"
* * *
Sekarang aku masih sering bermain di pematang Sioji. Tak lagi bersama Ikram. Selain anak-anak yang berkejaran riuh, ada cowok lain yang menggantikan posisi Ikram. Ahmad, namanya. Anak Pak Lurah yang terlalu sering membantu keuangan keluargaku. Meskipun dia lebih gagah dan tampan dari Ikram---tentu saja lebih kaya---toh aku tetap merasa ada yang hilang. Ahmad selalu berjuang memberikan yang terbaik bagiku. Sayang, aku selalu merasakan sebaliknya, yang terburuk.
"Besok ada ulangan matematika. Kau sudah siap?" Ahmad menggaris-garis tanah dengan ujung ranting. Sebuah bunga rumput turun mendekati wajahnya. Dia sigap meniupnya kuat-kuat. Bunga rumput itu terbang menjauh diperebutkan anak-anak.
"Sudah!" jawabku singkat. Sungguh, aku sangat tak ingin seorang seperti Ahmad mengganggu kesendirianku. Tapi menolak kedatangannya sama saja aku melupakan setiap bantuan orangtuanya. Emak dan Bapak pun kelihatan setuju melihat kami berteman akrab. Pernah sekali Emak mengkhayal, Ahmad bakal menjadi menantunya. Hahaha, aku pikir khayalan itu terlalu tinggi. Lagi pula untuk membincangkan masalah menantu, sepertinya masih butuh waktu lama. Aku lebih mementingkan sekolah dan membantu Emak dan Bapak.
"Kau masih mengingat Ikram terus, ya?" Nada bicara Ahmad ketus. Sejak aku SMP, Ahmad sudah membenci kedekatanku dengan Ikram. Begitupun dia tak bisa bertingkah macam-macam karena tahu kalau Ikram jago karate. "Sudahlah, dia telah menjadi orang kota. Dia sudah melupakan kampung kita. MelupakanmuÂ