Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tembang Pematang Siojo

18 April 2019   12:41 Diperbarui: 18 April 2019   13:03 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi: pixabay

"Aku yakin dia masih ingat cita-citanya menjadi seorang guru. Tak sekarang, tapi nanti dia mungkin akan melanjutkan pendidikan dan mengabdi di kampung kita."

Ahmad mencibir. Aku membuang pandang. Sedih rasanya Ikram dilecehkan oleh Ahmad. Ketimbang hati panas, aku buru-buru menuruni pematang Siojo. Ahmad memanggil dan mengejarku turun. Aku pura-pura tak mendengar dan berusaha lebih cepat melangkah.

* * *

Sepedaku meluncur pelan menuju sekolah. Sekali-sekali aku membunyikan kliningan agar anak-anak SD yang berjalan searah denganku, sedikit melapangkan jalan. Hari ini adalah hari keduaratus Ikram menetap di kota. Pagi ini ada berita yang kutunggu-tunggu di sekolah. Apalagi bukan berita yang dibawa Imah.

Tiga hari lalu Imah bersama seluruh keluarganya menghadiri acara resepsi pernikahan abangnya di kota. Dia berjanji akan mencari alamat Ikram, meskipun itu sulit. Apakah Ikram sehat-sehat saja? Apakah dia masih komit dengan cita-citanya menjadi seorang guru? 

"Pokoknya beritanya kukemas apik khusus untukmu. Tunggu saja Senin pagi di tempat biasa, kantin sekolah yang menggoda." Terngiang celoteh riang Imah.

Sepeda semakin kupacu. Atap sekolah samar telihat bersinar diterpa cahaya matahari. Seorang cewek menyandang tas panda, memasuki gerbang dengan langkah gontai. Aku ingin menyusulnya. Namun aku memilih diam-diam saja menunggunya di kantin. Biar lebih asyik dan afdol. Aku akan memesan dua mangkok mie pecel dan dua gelas teh hangat. Ya, anggap saja uang lelah bagi Imah karena bela-belain menjadi inforwoman demi berita mengejutkan tentang sosok Ikram.  

"Hai, sudah duluan, ya! Belum masuk kelas?" Imah menyusulku sambil lalu melihat tas yang masih kusampirkan di bahu.

"Seperti janji sebelumnya, berita hangat itu akan kita buka di sini. Bagaimana? Bagaimana tentang semangkok mie pecel dan segelas teh hangat?' tawaku berderai.

Imah hanya mengambil sepotong tempe goreng. Dia menolak makan yang berat-berat di pagi yang cerah ini. Kata Imah, perutnya sedang mengulah.

"Beritanya memang hangat, Yam. Tapi membuat sakit hati." Dia terdiam sebentar. Aku merasa-rasa ada yang tak beres. Jantungku tiba-tiba berdegup tak karuan. "Aku memang berusaha mencari Ikram, tapi tempat tinggalnya tak ketemu."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun