Dulu Bapak berpacaran dengan ibu Ikram. Namun kehadiran Pak Iis yang gagah perkasa dan pesilat kampung, membuat pamor Bapak turun drastis. Belakangan ibu Ikram menikah dengan Pak Iis. Itulah yang menyebabkan Bapak tak ingin Ikram mendekatiku. Dia bagai ingin membalaskan sakit hatinya.Â
"Biarlah, Mak! Dia itu sekarang sudah menjadi orang kota. Mana mungkin dia mengingatku."
"Kenapa? Ikram kan teman akrabmu!"
"Dari dulu Bapak tak menyenanginya."
"Oh, gara-gara itu!" Emak paling tak mau memperpanjang obrolan bila menyangkut ketaksenangan Bapak terhadap Ikram. Bisa mengungkit rasa cemburu Emak!
* * *
Sepedaku yang melaju kencang, mendadak dihadang seseorang. Aku tak bisa mengerem, lalu menabrakkan sepeda ke tubuh orang itu. Sepeda terguling ke semak-semak pinggir jalan, sontak menimpa tubuhku. Sakit rasanya. Apalagi lututku lecet-lecet karena terantuk aspal.
Orang itu mendekat dengan wajah merasa bersalah. Dia mengulurkan tangan setelah memberdirikan sepedaku. Namun aku membuang wajah. Aku meringis sambil berusaha berdiri tanpa dibantu siapapun.
"Maaf, aku sengaja melakukan ini. Namun aku tak menyangka kau bakalan terjatuh."
"Maaf, maaf! Dasar orang kota tak tahu diri." Aku merengut. Dia memegang tanganku yang buru-buru kutepiskan. Orang itu si brengsek Ikram yang mencoba mengaduk-aduk kembali hatiku yang kadung kusut.
"Kenapa kau selalu ingin menjauhiku?"