"Karena kau telah menjadi orang kota. Kau telah mabuk kota. Lupakah kau cita-cita hendak menjadi guru itu?"
Ikram tertunduk. Ketika aku duduk di tembok pembatas jalan dengan sawah di seberangnya, Ikram menyusulku. Dia duduk dengan kepala ditekuk. Dia menarik napas berat, seolah-oleh napasnya tak ingin dihembuskan lagi.
"Aku masih ingat cita-citaku. Bahkan sebulan lagi aku akan ke kota Medan. Aku disekolahkan Paman Arnal dibantu oleh seorang rekan bisnisnya. Aku akan melanjutkan pendidikan sampai ke perguruan tinggi. Sampai bergelar sarjana pendidikan dan mengajar di kampung kita. Bukankah ini cerita yang sangat menarik? Paman Arnal tak ingin memaksaku mentok menjadi montir karena itu tak sesuai dengan kata hatiku." Kata-katanya bersemangat. Tapi wajahnya tetap kuyu.
"Wah, bagus kalau begitu!"Â
Dari ujung jalan sebuah mobil melaju pelan. Seorang cewek muncul di jendela mobil sambil melambai, menyuruh Ikram cepat masuk. "Dialah temanku melanjutkan pendidikan ke Medan. Karena kami sudah ditunangkan."
"Selamat!" ucapku terbata. Hatiku seperti meledak. Secepat itukah?
Punggung Ikram menghilang di dalam mobil yang segera melaju pelan. Kurasakan tubuhku goyah. Aku terseok-seok mendorong sepeda menuju sekolah. Sudah cukup terlambat bagiku untuk masuk pelajaran pertama.Â
Aku tak melihat lagi mobil yang membawa Ikram pergi.Â
Ah, aku senang dia bisa mewujudkan cita-citanya. Hanya saja dia telah melupakan cintaku yang mulai tumbuh menyemai jiwa. Â Di timur, matahari semakin meninggi.
---seklian---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H