Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tembang Pematang Siojo

18 April 2019   12:41 Diperbarui: 18 April 2019   13:03 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Karena kau telah menjadi orang kota. Kau telah mabuk kota. Lupakah kau cita-cita hendak menjadi guru itu?"

Ikram tertunduk. Ketika aku duduk di tembok pembatas jalan dengan sawah di seberangnya, Ikram menyusulku. Dia duduk dengan kepala ditekuk. Dia menarik napas berat, seolah-oleh napasnya tak ingin dihembuskan lagi.

"Aku masih ingat cita-citaku. Bahkan sebulan lagi aku akan ke kota Medan. Aku disekolahkan Paman Arnal dibantu oleh seorang rekan bisnisnya. Aku akan melanjutkan pendidikan sampai ke perguruan tinggi. Sampai bergelar sarjana pendidikan dan mengajar di kampung kita. Bukankah ini cerita yang sangat menarik? Paman Arnal tak ingin memaksaku mentok menjadi montir karena itu tak sesuai dengan kata hatiku." Kata-katanya bersemangat. Tapi wajahnya tetap kuyu.

"Wah, bagus kalau begitu!" 

Dari ujung jalan sebuah mobil melaju pelan. Seorang cewek muncul di jendela mobil sambil melambai, menyuruh Ikram cepat masuk. "Dialah temanku melanjutkan pendidikan ke Medan. Karena kami sudah ditunangkan."

"Selamat!" ucapku terbata. Hatiku seperti meledak. Secepat itukah?

Punggung Ikram menghilang di dalam mobil yang segera melaju pelan. Kurasakan tubuhku goyah. Aku terseok-seok mendorong sepeda menuju sekolah. Sudah cukup terlambat bagiku untuk masuk pelajaran pertama. 

Aku tak melihat lagi mobil yang membawa Ikram pergi. 

Ah, aku senang dia bisa mewujudkan cita-citanya. Hanya saja dia telah melupakan cintaku yang mulai tumbuh menyemai jiwa.  Di timur, matahari semakin meninggi.

---seklian---

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun