Kuceritakan bahwa Supio sekarang sudah menjadi pengusaha. Entah usaha apa, tadi aku belum sempat bertanya. Yang pasti usahanya sudah memiliki cabang di mana-mana. "Rencana dia juga mau buka cabang di sini," kataku sehingga tak sadar istriku bertepuk-tangan.
"Mas tak minta diangkat menjadi  karyawannya?"Â
"Aku malahan ditawari menjadi kepala cabang di kota ini."Â
"Wah, bagus itu!"
"Tapi aku ragu, menerima tawarannya atau tidak. Tadi, saat aku mengajaknya shalat jumat, dia malahan pergi dan mengatakan sedang ada urusan."
Istriku melotot. "Ya, siapa tahu dia shalat di masjid lain, Mas!"
"Tapi?"
"Tak usah mikirin yang susah-susah! Yang penting Mas kelak bisa kerja dengannya. Ketimbang melulu nyeles tak jelas begini!"
* * *
Supio menepati janji. Setelah menelepon akan berkunjung ke rumahku malam ini, ternyata tak dinyana dia tiba saat aku dan istri sedang siap-siap hendak shalat maghrib. Dia  muncul dengan sekeranjang buah aneka ragam yang langsung direbutin dua bocah kecilku.
"Shalat maghrib berjamaah dulu, yok! Kau jadi imam ya, Sup!" todongku.Â