Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Teman Lama

22 Maret 2019   14:51 Diperbarui: 22 Maret 2019   15:01 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tak ada firasat apa-apa pagi ini. Matahari suam, tak pula berpintal awan jelaga. Tapi aku harus terperanjat ketika bertemu Supio. Teman yang hampir lima tahunan tak bersua itu, tiba-tiba saja muncul di dekatku. Bukan karena dia kelihatan keren saja, melainkan apa yang dia kendarai; sebuah sedan mulus berwarna putih metalik. Kalau bukan ditegur duluan, mungkin aku langsung berjalan menuju halte bis. Bukankah siapa saja yang memiliki mobil, bebas berhenti pada tempatnya? Mau di dekatku atau jauh sekalipun tak masalah.

Dia kemudian memelukku erat-erat, sementara aku setengah ragu-ragu merapatkan badan. Entah mengapa, setelah kehidupanku tak karuan, aku merasa agak malu bila bertemu, apalagi harus berpelukan dengan teman yang jauh levelnya di atasku. Maksudku level kemakmuran.

"Sudah lima tahun! Masa yang cukup lama. Kau kelihatan agak tua!" Supio melepaskan pelukannya.

"Dan kau kelihatan bertambah muda." Kerapkali orang yang dibelit kesusahan, akan kelihatan lebih tua daripada mereka yang penghidupannya aman dan nyaman. Kataku kerapkali, karena belum tentu semuanya begitu.

Dulu aku juga hebat. Mobilku mentereng. Kuingat Supio kala itu masih setia dengan motor bututnya. Tapi siapa yang bisa menebak masa depan? Tak selamanya kesuksesan menyertaiku! Setahun lalu, perusahaan tempatku bekerja gulung tikar. Aku yang mencoba mencari lapak kerja baru, kalah bersaing dengan mereka yang berusia muda. Akhirnya aku memilih menjadi sales. Penjual door to door. 

Apa saja bisa kujual, mulai dari parfum berbagai merk yang selalu kubawa dalam tas hitam supergede. Pun motor, mobil, tanah---yang itu kalau ada yang beminat saat aku bincang-bincang dengan pembeli parfum. 

Begitupun sampai sepatuku menipis, dan daki mulai membelit leher, aku tak mendapatkan kesejahteraan. Untung saja aku sudah memiliki rumah, kendati apa yang ada di dalamnya sangat jauh dari kata layak. Termasuk urusan perut yang melulu harus bersantap sayur-mayur dan lauk sekadarnya.

"Naiklah ke mobilku. Mau pulang kampung, ya, bawa tas segini besar?" Supio menatap tas yang kujinjing.

"Terima kasih. Bukan mau pulang kampung, tapi ini barang dagangan." Aku tersenyum. "Aku mau berjualan. Tahulah, sekarang ini aku nyeles. Kalau tak menjual hari ini, mana mungkin dapur berasap," tolakku halus.

"Hari ini aku yang membeli daganganmu. Santai sajalah! Sudah lama tak bersua, kenapa pula persuaan ini harus berlalu sedemikian cepat?"

Akhirnya kurasakan lagi nyamannya di dalam mobil. Tak ada rasa gerah sebagaimana yang kurasakan di dalam bis kota. Supio bercerita tentang masa-masa muda kami. Masa-masa sulit yang dialaminya saat harus berkutat dengan tongkrongan motor butut. Hujan kebasahan, kemarau kepanasan.

"Tumben kehidupanmu menjadi susah begini. Dulu kau selalu kelihatan mewah."

"Perusahaan tempatku bekerja ambruk. Jadi, mau bilang apalagi. Mencari pekerjaan sulit. Lowongan pekerjaan yang ada selalu membatasi umur pelamar."

"Pengalamanmu kan sudah bejibun!"

"Ya, tapi inilah kenyataan yang kuterima. Pasrah saja!"

Supio memarkirkan mobil di sebuah restoran. Dia mengajakku sarapan, yang boleh dibilang bukan sarapan. Apa yang dia pesan makanan berat-berat semua. Nasi, bebek goreng, ikan asam manis, kangkung tumis dan sate lidah. Kebetulan aku baru sarapan pisang goreng di rumah, dan melihat apa yang terhidang di meja, bagiku adalah rejeki durian runtuh.

"Kau sukses sekarang, ya? Kerja di mana?" tanyaku saat mobil kembali berjalan di antara kendaraan yang saling merapat.

"Adalah! Aku memiliki perusahaan yang memiliki cabang di beberapa kota. Aku berencana mau buka salah satu cabang di sini. Nah, kebetulan bertemu kau. Mungkin kalau berminat, jadilah kepala cabang saja di kota ini."

"Maksudmu aku?"

Supio tertawa. "Ya, siapa lagi?"

* * *

Aku pulang ke rumah dengan wajah sumringah. Meskipun berulangkali menolak, akhirnya segumpal uang Supio berpindah juga ke tanganku. Supio tak enak hati telah memakan waktu kerjaku hari ini. Itu artinya penghasilanku berkurang. Dengan uang pemberiannya, jadilah mengasapi dapur. 

"Ini sudah lebih dari cukup. Sangat berlebihan malah!" kataku sebelum kami berpisah.

"Tak apa-apa. Anggap saja sekalian persekot untukmu. Ya, kau akan menjadi kepala cabang di kota ini. Kau mau menjadi karyawanku, kan?" Dia menggenggam erat tanganku.

Aku hanya tersenyum kala itu. Meskipun telah membuka jalan baru bagiku, tapi  aku masih ragu melihat tingkah-laku Supio. Dia sepertinya bukan Supio yang dulu. Kurang beriman. Atau, apakah aku hanya bersuuzon saja?

Tadi siang, saat tiba shalat jum'at dan aku meminta dia memarkirkan mobil, Supio malahan tak ikut turun. Katanya dia ada urusan sebentar. Nanti dia menjemputku, selesai aku shalat jum'at.

"Kau tak shalat jum'at?"

Supio hanya tertawa.

Sedang membayangkan Supio, istriku muncul di ambang pintu. Dia mengambil-alih tas yang masih seberat ketika aku bawa tadi pagi. Sepatuku dia masukkan ke dalam rak. Lalu dia ke dapur sebentar. Muncul lagi di hadapanku dengan segelas teh manis, juga sepiring kecil tempe goreng.

"Kau kenal Supio?" Aku memulai perbincangan. Aku selalu menceritakan kepada istriku apa-apa saja kejadian yang kualami di luaran sana. Termasuk bila bertemu teman perempuan maupun lelaki.

"O, kawan Mas yang dulu itu? Supio yang senang berkelakar dan paling setia dengan motor bututnya?"

"Iya! Sekarang motor bututnya tak ada lagi. Yang ada mobil sedan putih mulus. Yang ada Supio berpenampilan keren dan kaya."

Mata istriku membola. Mendengar kata keren dan kaya, mungkin dia terkenang masa-masa jaya kami dulu. Istriku memang mencoba membantu mewujudkan kejayaan itu kembali dengan membuat kue-kue yang dititipkan ke beberapa toko makanan. Tapi hampir tiga bulan berjalan, bukannya laku, kue-kue itu malahan lebih sering dihabiskan di rumah. Atau kalau tak sanggup menghabiskan, dibagi-bagi ke tetangga atau kerabat kami.

Kuceritakan bahwa Supio sekarang sudah menjadi pengusaha. Entah usaha apa, tadi aku belum sempat bertanya. Yang pasti usahanya sudah memiliki cabang di mana-mana. "Rencana dia juga mau buka cabang di sini," kataku sehingga tak sadar istriku bertepuk-tangan.

"Mas tak minta diangkat menjadi  karyawannya?" 

"Aku malahan ditawari menjadi kepala cabang di kota ini." 

"Wah, bagus itu!"

"Tapi aku ragu, menerima tawarannya atau tidak. Tadi, saat aku mengajaknya shalat jumat, dia malahan pergi dan mengatakan sedang ada urusan."

Istriku melotot. "Ya, siapa tahu dia shalat di masjid lain, Mas!"

"Tapi?"

"Tak usah mikirin yang susah-susah! Yang penting Mas kelak bisa kerja dengannya. Ketimbang melulu nyeles tak jelas begini!"

* * *

Supio menepati janji. Setelah menelepon akan berkunjung ke rumahku malam ini, ternyata tak dinyana dia tiba saat aku dan istri sedang siap-siap hendak shalat maghrib. Dia  muncul dengan sekeranjang buah aneka ragam yang langsung direbutin dua bocah kecilku.

"Shalat maghrib berjamaah dulu, yok! Kau jadi imam ya, Sup!" todongku. 

Supio cengengesan. Katanya dia masih bau keringat. Mau ngaso dulu di ruang tamu biar adem. Aku menjawab dengan mengedikkan bahu, lalu melaksanakan shalat berjamaah maghrib dengan istri. 

Selesai shalat, kami berkumpul di ruang tamu. Istri tak lupa menghidangkan makanan dan minuman alakadarnya. Sementara aku masih bertanya-tanya dalam hati, kapan temanku ini akan shalat maghrib. Kutunggu-tunggu hingga pukul tujuh, dia masih asyik bercerita. Mau menegur agar dia shalat dulu, rasanya tak enak. Tapi setelah dipikir-pikir bahwa mengingatkan sesama muslim adalah kewajiban, akhirnya aku berkata,

"Shalat maghrib dulu, Sup! Selepas itu kita makan malam."

Istriku buru-buru ke dapur. Supio cengengesan. "Nanti saja!"

"Kenapa? Shalat itu wajib, Sup!"

"Iya, aku tahu. Lagipula apa salahnya kalau orang tak shalat?  Banyak kok orang yang shalat, tapi sifatnya jelek. Malah suka maling, korupsi. Mau melihat orang itu baik atau tidak, bukan dari shalatnya. Tapi dari tingkah lakunya. Percuma shalat kalau tabiat tetap jelek." Sebenarnya Supio mengatakannya dengan santai. Tapi bagiku seolah menusuk sampai ke tulang sum-sum, sampai ke hati yang paling dalam.

Aku mulai merasa tak menyukai Supio. Apalagi saat kami bincang-bincang di meja makan, dia mulai bercerita tentang kehidupannya yang maju. Katanya, dia mulai berubah makmur setelah mengenal seorang suci yang memberinya cincin berkah. Kemudian dia memperoleh lagi dari orang-orang suci lain, gelang akar bahar mujarab, batu-batu berkah, tasbih.

"Aku tambah makmur dengan barang-barang itu. Ke mana-mana saja kubawa. Dan aku tetap aman, tentu saja makmur." Dia kemudian mengeluarkan sesuatu dari tas kecil yang selalu ditentengnya ke mana-mana. Dari tas itu dia keluarkan buntelan putih dengan beragam batu di dalamnya, beragam cincin, gelang, tasbih. 

"Jadi, kau serius menjadi calon kepala cabang di kota ini? Ayo, sokong suamimu, Minah!" kata Supio akhirnya, sambil melempar pandang ke arah istriku.

Sebelum istriku menjawab, aku buru-buru menggeleng. "Mohon maaf, Sup. Kita memang berteman akrab. Tapi untuk pekerjaan kepala cabang itu, sepertinya aku tak sanggup. Aku bukan orang yang tepat. Cari saja orang lain yang lebih cakap."

Istriku melotot seperti memendam amarah. Supio sedikit terkejut. Kemudian dia dapat menetralisir keadaan. "Aku pikir kau mau. Tapi tak apalah. Mungkin kalau ada yang pekerjaan yang cocok untukmu, nanti kuhubungi, ya!"

"Mudah-mudahan!" jawabku.

Kami pun berpisah. Istriku marah-marah sampai di penghujung malam. Tapi aku membisu. Minah belum mengerti apa yang kuinginkan. Belum mengerti!

---sekian---

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun