Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Teman Lama

22 Maret 2019   14:51 Diperbarui: 22 Maret 2019   15:01 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Supio cengengesan. Katanya dia masih bau keringat. Mau ngaso dulu di ruang tamu biar adem. Aku menjawab dengan mengedikkan bahu, lalu melaksanakan shalat berjamaah maghrib dengan istri. 

Selesai shalat, kami berkumpul di ruang tamu. Istri tak lupa menghidangkan makanan dan minuman alakadarnya. Sementara aku masih bertanya-tanya dalam hati, kapan temanku ini akan shalat maghrib. Kutunggu-tunggu hingga pukul tujuh, dia masih asyik bercerita. Mau menegur agar dia shalat dulu, rasanya tak enak. Tapi setelah dipikir-pikir bahwa mengingatkan sesama muslim adalah kewajiban, akhirnya aku berkata,

"Shalat maghrib dulu, Sup! Selepas itu kita makan malam."

Istriku buru-buru ke dapur. Supio cengengesan. "Nanti saja!"

"Kenapa? Shalat itu wajib, Sup!"

"Iya, aku tahu. Lagipula apa salahnya kalau orang tak shalat?  Banyak kok orang yang shalat, tapi sifatnya jelek. Malah suka maling, korupsi. Mau melihat orang itu baik atau tidak, bukan dari shalatnya. Tapi dari tingkah lakunya. Percuma shalat kalau tabiat tetap jelek." Sebenarnya Supio mengatakannya dengan santai. Tapi bagiku seolah menusuk sampai ke tulang sum-sum, sampai ke hati yang paling dalam.

Aku mulai merasa tak menyukai Supio. Apalagi saat kami bincang-bincang di meja makan, dia mulai bercerita tentang kehidupannya yang maju. Katanya, dia mulai berubah makmur setelah mengenal seorang suci yang memberinya cincin berkah. Kemudian dia memperoleh lagi dari orang-orang suci lain, gelang akar bahar mujarab, batu-batu berkah, tasbih.

"Aku tambah makmur dengan barang-barang itu. Ke mana-mana saja kubawa. Dan aku tetap aman, tentu saja makmur." Dia kemudian mengeluarkan sesuatu dari tas kecil yang selalu ditentengnya ke mana-mana. Dari tas itu dia keluarkan buntelan putih dengan beragam batu di dalamnya, beragam cincin, gelang, tasbih. 

"Jadi, kau serius menjadi calon kepala cabang di kota ini? Ayo, sokong suamimu, Minah!" kata Supio akhirnya, sambil melempar pandang ke arah istriku.

Sebelum istriku menjawab, aku buru-buru menggeleng. "Mohon maaf, Sup. Kita memang berteman akrab. Tapi untuk pekerjaan kepala cabang itu, sepertinya aku tak sanggup. Aku bukan orang yang tepat. Cari saja orang lain yang lebih cakap."

Istriku melotot seperti memendam amarah. Supio sedikit terkejut. Kemudian dia dapat menetralisir keadaan. "Aku pikir kau mau. Tapi tak apalah. Mungkin kalau ada yang pekerjaan yang cocok untukmu, nanti kuhubungi, ya!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun