Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Telepon-telepon Itu

3 Maret 2019   23:08 Diperbarui: 4 Maret 2019   03:32 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tiba-tiba aku tersentak ketika lampu mati, seiring dering telepon selularku berbunyi. Regar, rekan Batak di sebelahku, menggerutu. Laporannya di komputer belum di-save, sehingga lenyaplah data yang sekian menit diketiknya. "Sontoloyo!" Dia menggerutu. Diraihnya buku kecil dan pena di atas meja. Dia langsung terbang ke luar menuju kantin di ujung lorong kantor.

"Telepon siapa yang berbunyi?" Andini melongok dari balik tumpukan arsip koran bulan lalu. Aku tersadar. Aku memegang kantong celana. Merasakan sebuah getaran di telapak tangan.

"Teleponku!" jawabku sambil melihat sebaris nama di layar telepon itu. Hmm, dari Iin. Perempuan manis yang hampir kulupakan hampir lima tahun ini.

"Masih ingat aku, kan?" Terdengar suaranya yang mendesah di seberang.

"Ya, kau Iin. So, aku pasti tetap ingat kau. Apa kabar?" Tawaku renyah. Iin adalah teman kecilku. Setamat SMA, dia hengkang dari Palembang menuju Jakarta. Bapaknya yang pejabat di PLN, dimutasikan. Sejak itulah kami tak pernah berhubungan lagi. Meskipun sekedar berteleponan. 

"Baik!" jawabnya. "Nomorku masih kau simpan, Lang? Wah, kupikir kau telah menghapusnya. Bahkan tadi aku ragu meneleponmu. Aku takut nomormu sudah berganti. Nyatanya, kau masih setia." 

"Kau lagi di mana?" kejarku.

"Lagi di pesawat menuju Palembang. Tunggu aku, ya? Pokoknya something special, deh!"

"Gila! Kau memang senang melanggar peraturan." Iin masih seperti dulu senangnya melanggar aturan-aturan. Apakah dia tak takut bahaya kalau sinyal teleponnya bisa mengganggu radar pesawat? Tapi dasar, bukan Iin namanya bila tak nakal.

Mendadak baterai teleponku nge-drop. Bunyi tit sekali, habis itu lenyap. Aku hampir meminta charger hp kepada Andini, kalau tidak Regar menarik lengan bajuku.

"Cepat, Lang! Aku butuh kameramu. Berita penting. Sebuah pesawat jatuh di Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II. Dikabarkan semua penumpang dan awaknya hangus terbakar." Regar seperti kesetanan.

Sekonyong terlintas wajah Iin yang mungil. Tuhan, jangan-jangan pesawatnya yang jatuh. Aduh, kenapa pula dia nekad meneleponku tadi. Dia kan tahu dilarang keras menghidupkan barang yang memiliki gelombang radio di dalam pesawat!

Regar tak memberiku kesempatan menyela. Dia langsung duduk mantap di atas sepeda motornya. Sementara aku uring-uringan. Aku masih ingin menelepon Iin. Aku cemas, kalau-kalau pesawat yang jatuh itu adalah pesawat yang ditumpanginya.

***

Bandara benar-benar serupa pasar malam. Lampu blitz berseliweran. Belasan mobil pemadam kebakaran lalu-lalang dengan bunyi sirine memekakkan telinga. 

Beberapa mobil polisi parkir tak jauh dari kami. Regar melambai ke arah seseorang di dalam salah satu mobil polisi. Lalu berdua aku, kami memasuki pintu gerbang menuju landasan pacu. Seorang petugas mencegat. Dia melarang kami masuk. Meskipun Regar menunjukkan kartu persnya, tetap saja dia membadak. Katanya, "Tak perduli wartawan, siapa pun tak boleh masuk ke sana!  Masih bahaya!"

Akhirnya kami duduk di ruang tunggu sambil  melepas penat. Selintas kuingat lagi Iin. Ketakutan langsung menyergap. Kuhidupkan telepon selularku. Ah, untung baterainya masih kuat. Cepat-cepat kucatat di telapak tangan nomor telepon Iin. Lalu telepon itu mati, seiring aku meminjam telepon selular Regar.

"Misscall saja! Pulsaku sedikit. Maklum tanggung bulan." Selalu begitu. Regar, medit masalah pulsa. Kalau persoalan lain, dia royal. Kutanggapi saja ucapannya dengan tawa lebar.

Nomor Iin kupanggil. Masya Allah! Ternyata tak aktif. Keringat dingin mengucur di seluruh leherku. Regar menatapku heran. "Kau kenapa? Mukamu tiba-tiba pucat."

Aku tak menjawab. Pikiranku bulat-bulat tertuju kepada Iin. Aku takut dia berada di pesawat yang kecelakaan itu. Karena tak enak di hati, aku pulang lebih dulu. 

Kamera kuserahkan kepada Regar yang tetap nekad menunggu, sehingga diperkenankan memasuki daerah landasan pacu, di mana pesawat yang celaka itu telah membangkai.

Malam harinya aku tak ke kantor lagi. Alasan sakit. Aku menghabiskan waktu menonton televisi ditemani semangkuk kentang goreng dan segelas lemon hangat. Aku ingin mengetahui berita terakhir tentang kecelakaan pesawat itu. Sebentar tadi, memang sudah dilaporkan beberapa nama korban tewas. Tapi tak satu pun yang menyebutkan nama Iin. Sementara dikabarkan beberapa sosok mayat belum teridentifikasi. Nama-nama penumpang yang berangkat dari Jakarta, juga belum lengkap. Ada beberapa nama yang belum terlacak di komputer mereka. Gila, apa sebobrok itu manajemen sebuah perusahaan penerbangan?

Aku bergegas ke kamar karena mendengar dering telepon selularku yang nyaring. Kulihat di layarnya tertulis nama; Iin. Oh, Tuhan. Ternyata gadis mungilku  masih ada. Dia masih hidup. Ah, mungkin dia tak menumpang di pesawat celaka itu. Siapa tahu dia dengan pesawat lain yang lebih bagus. Aku memang terlalu buru-buru mengambil kesimpulan.

"Hai, aku sudah sampai di Palembang, Lang. Rumahmu di mana? Masih ikut orangtua? Aku ingin bertemu kau," katanya buru-buru.

"Tak lagi. Aku sekarang tinggal di rumah kontrakan. Mau belajar mandiri," jawabku sambil mencari charger hp. Baterai teleponku mengulah lagi. 

"Kau sudah berkeluarga?" Ada nada kecewa dari suara Iin.

"Belum!" Teleponku berbunyi dit beberapa kali. Peringatan kalau sebentar lagi akan mati. "Kau kujemput saja. Kau dimana?"

"Di kafe tempat biasa kita bertemu. Jam delapan tepat, ya! Kutunggu. Jangan kemalaman." Teleponku mati. Untung siangnya aku telah membeli baterai baru. Jadi, tak usah cemas bila sekonyong Iin menghubungiku..

Segera aku meluncur ke kafe. Kuambil tempat duduk di sudut, yang sedikit menjorok ke Sungai Musi. Udara terasa menggigilkan. Kupesan lemon hangat. Lalu beberapa potong empek-empek sekeder mengganjal perut yang keroncongan.

Sebenarnya aku sudah kesal. Aku berpikir Iin telah menungguku di kafe. Ternyata tak selintas pun kulihat batang hidungnya. Apakah dia memang sudah ada di tempat itu, tapi aku tak mengenalinya? Terus terang, waktu lima tahun mampu merubah penampilan orang secara drastis.

Pukul sepuluh tepat, Iin tak datang-datang juga. Hampir kutinggalkn kafe, kalau tidak ada telepon masuk darinya.

"Maaf berat, Lang. Aku tak bisa datang ke kafe. Sepertinya aku demam. Kau masih di rumah atau telah di kafe?" Suara Iin terdengar sengau. Dia bersin sekali, kemudian tertawa pelan.

"Oh, aku masih di rumah," jawabku berbohong. Dia pasti tak enak hati mendengarku telah menunggunya dua jam lebih di kafe.

"Syukurlah. Beruntung sifat suka telatmu masih membudaya. Kalau tidak kau pasti kesal menungguku."

Hubungan kami terputus. Dia berjanji meneleponku besok pagi. Dia ingin mengajakku jalan-jalan keliling kota Palembang. Itu artinya aku harus bolos kerja. Tapi demi Iin tak apalah.

* * *

Iin seperti hilang ditelan bumi. Janjinya mengajakku jalan-jalan keliling kota Palembang, tak terlaksana. Dia tak meneleponku. Juga besok-besoknya. Sementara ketika aku berusaha menghubunginya, telepon selularnya selalu berada di luar jangkauan alias mati.

Aku heran, kenapa dia seperti mempermainkanku? Sama seperti dipermainkannya hatiku lima tahun lalu. Jujur saja, kala itu aku memendam suka kepadanya. Bahkan karena unsur suka itulah, aku selalu rela menemaninya ke mana-mana. Suatu waktu, karena tak tahan memendam perasaan di dada, kuutarakan rasa cinta itu.

Ternyata aku tak bertepuk sebelah tangan. Kami mengukir janji sehidup-semati. Tapi apalah yang mau dikata, selain berpacaran denganku, dia juga berpacaran dengan Bim. 

Aku sakit hati. Tak pernah kutemui lagi dia, sehingga terdengar kabar dia telah pergi ke Jakarta. Dan hubungan kami terputus, sampai dia meneleponku beberapa hari lalu.

* * *

Kami hampir bertabrakan. Beruntung kami sama-sama langsung bisa berhenti, meskipun belanjaannya berhamburan ke trotoar. 

"Tante Halimah!" Aku tercekat.

"Elang!" Dia menyalamiku.

Wah, seperti tak percaya rasanya bisa bertemu dengan Tante Halimah. Dia adalah orangtua Iin. Kebetulan benar kami bersua, jadi bisa kutanyakan kabar Iin.

"Iin bersama Tante datang ke Palembang, ya? Iin di mana?"

"Iin?" Raut wajahnya berubah murung. 

"Kau belum tahu, ya?"

"Kenapa rupanya, Tante?" Aku takut Iin sakit keras. Sebab terakhir kali meneleponku, dia sedang demam. "Dia sakit, ya?"

"Dia telah meninggal dunia empat tahun lalu dalam sebuah kecelakaan di jalan raya Jakarta."

"Meninggal?" Aku hampir terjatuh kalau tak dapat menahan emosi yang berkecamuk. Kucoba menenangkan jiwa sambil berkata, "Maaf Tante, aku tak tahu kalau dia sudah meninggal."

"Tak apa-apa." Rautnya kembali sumringah. "Kalau ingin bertemu aku, datang saja ke hotel ini." Dia menyebutkan sebuah nama hotel yang cukup mewah di Palembang.

Sepeninggal Tante Halimah, pikiranku bertambah berkecamuk. Jadi, siapa perempuan yang mengaku Iin, dan telah meneleponku berkali-kali beberapa hari lalu? Aku bergidik. Sampai sekarang tak ada yang tahu kalau Iin pernah meneleponku, sementara dia sudah meninggal. Jadi, ketika kisah ini kuceritakan kepadamu, maka anggaplah kamu orang pertama yang mengetahuinya. Terima kasih.,

---sekian---

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun