Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Telepon-telepon Itu

3 Maret 2019   23:08 Diperbarui: 4 Maret 2019   03:32 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sekonyong terlintas wajah Iin yang mungil. Tuhan, jangan-jangan pesawatnya yang jatuh. Aduh, kenapa pula dia nekad meneleponku tadi. Dia kan tahu dilarang keras menghidupkan barang yang memiliki gelombang radio di dalam pesawat!

Regar tak memberiku kesempatan menyela. Dia langsung duduk mantap di atas sepeda motornya. Sementara aku uring-uringan. Aku masih ingin menelepon Iin. Aku cemas, kalau-kalau pesawat yang jatuh itu adalah pesawat yang ditumpanginya.

***

Bandara benar-benar serupa pasar malam. Lampu blitz berseliweran. Belasan mobil pemadam kebakaran lalu-lalang dengan bunyi sirine memekakkan telinga. 

Beberapa mobil polisi parkir tak jauh dari kami. Regar melambai ke arah seseorang di dalam salah satu mobil polisi. Lalu berdua aku, kami memasuki pintu gerbang menuju landasan pacu. Seorang petugas mencegat. Dia melarang kami masuk. Meskipun Regar menunjukkan kartu persnya, tetap saja dia membadak. Katanya, "Tak perduli wartawan, siapa pun tak boleh masuk ke sana!  Masih bahaya!"

Akhirnya kami duduk di ruang tunggu sambil  melepas penat. Selintas kuingat lagi Iin. Ketakutan langsung menyergap. Kuhidupkan telepon selularku. Ah, untung baterainya masih kuat. Cepat-cepat kucatat di telapak tangan nomor telepon Iin. Lalu telepon itu mati, seiring aku meminjam telepon selular Regar.

"Misscall saja! Pulsaku sedikit. Maklum tanggung bulan." Selalu begitu. Regar, medit masalah pulsa. Kalau persoalan lain, dia royal. Kutanggapi saja ucapannya dengan tawa lebar.

Nomor Iin kupanggil. Masya Allah! Ternyata tak aktif. Keringat dingin mengucur di seluruh leherku. Regar menatapku heran. "Kau kenapa? Mukamu tiba-tiba pucat."

Aku tak menjawab. Pikiranku bulat-bulat tertuju kepada Iin. Aku takut dia berada di pesawat yang kecelakaan itu. Karena tak enak di hati, aku pulang lebih dulu. 

Kamera kuserahkan kepada Regar yang tetap nekad menunggu, sehingga diperkenankan memasuki daerah landasan pacu, di mana pesawat yang celaka itu telah membangkai.

Malam harinya aku tak ke kantor lagi. Alasan sakit. Aku menghabiskan waktu menonton televisi ditemani semangkuk kentang goreng dan segelas lemon hangat. Aku ingin mengetahui berita terakhir tentang kecelakaan pesawat itu. Sebentar tadi, memang sudah dilaporkan beberapa nama korban tewas. Tapi tak satu pun yang menyebutkan nama Iin. Sementara dikabarkan beberapa sosok mayat belum teridentifikasi. Nama-nama penumpang yang berangkat dari Jakarta, juga belum lengkap. Ada beberapa nama yang belum terlacak di komputer mereka. Gila, apa sebobrok itu manajemen sebuah perusahaan penerbangan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun