Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Telepon-telepon Itu

3 Maret 2019   23:08 Diperbarui: 4 Maret 2019   03:32 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku bergegas ke kamar karena mendengar dering telepon selularku yang nyaring. Kulihat di layarnya tertulis nama; Iin. Oh, Tuhan. Ternyata gadis mungilku  masih ada. Dia masih hidup. Ah, mungkin dia tak menumpang di pesawat celaka itu. Siapa tahu dia dengan pesawat lain yang lebih bagus. Aku memang terlalu buru-buru mengambil kesimpulan.

"Hai, aku sudah sampai di Palembang, Lang. Rumahmu di mana? Masih ikut orangtua? Aku ingin bertemu kau," katanya buru-buru.

"Tak lagi. Aku sekarang tinggal di rumah kontrakan. Mau belajar mandiri," jawabku sambil mencari charger hp. Baterai teleponku mengulah lagi. 

"Kau sudah berkeluarga?" Ada nada kecewa dari suara Iin.

"Belum!" Teleponku berbunyi dit beberapa kali. Peringatan kalau sebentar lagi akan mati. "Kau kujemput saja. Kau dimana?"

"Di kafe tempat biasa kita bertemu. Jam delapan tepat, ya! Kutunggu. Jangan kemalaman." Teleponku mati. Untung siangnya aku telah membeli baterai baru. Jadi, tak usah cemas bila sekonyong Iin menghubungiku..

Segera aku meluncur ke kafe. Kuambil tempat duduk di sudut, yang sedikit menjorok ke Sungai Musi. Udara terasa menggigilkan. Kupesan lemon hangat. Lalu beberapa potong empek-empek sekeder mengganjal perut yang keroncongan.

Sebenarnya aku sudah kesal. Aku berpikir Iin telah menungguku di kafe. Ternyata tak selintas pun kulihat batang hidungnya. Apakah dia memang sudah ada di tempat itu, tapi aku tak mengenalinya? Terus terang, waktu lima tahun mampu merubah penampilan orang secara drastis.

Pukul sepuluh tepat, Iin tak datang-datang juga. Hampir kutinggalkn kafe, kalau tidak ada telepon masuk darinya.

"Maaf berat, Lang. Aku tak bisa datang ke kafe. Sepertinya aku demam. Kau masih di rumah atau telah di kafe?" Suara Iin terdengar sengau. Dia bersin sekali, kemudian tertawa pelan.

"Oh, aku masih di rumah," jawabku berbohong. Dia pasti tak enak hati mendengarku telah menunggunya dua jam lebih di kafe.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun