Aku bergegas ke kamar karena mendengar dering telepon selularku yang nyaring. Kulihat di layarnya tertulis nama; Iin. Oh, Tuhan. Ternyata gadis mungilku  masih ada. Dia masih hidup. Ah, mungkin dia tak menumpang di pesawat celaka itu. Siapa tahu dia dengan pesawat lain yang lebih bagus. Aku memang terlalu buru-buru mengambil kesimpulan.
"Hai, aku sudah sampai di Palembang, Lang. Rumahmu di mana? Masih ikut orangtua? Aku ingin bertemu kau," katanya buru-buru.
"Tak lagi. Aku sekarang tinggal di rumah kontrakan. Mau belajar mandiri," jawabku sambil mencari charger hp. Baterai teleponku mengulah lagi.Â
"Kau sudah berkeluarga?" Ada nada kecewa dari suara Iin.
"Belum!" Teleponku berbunyi dit beberapa kali. Peringatan kalau sebentar lagi akan mati. "Kau kujemput saja. Kau dimana?"
"Di kafe tempat biasa kita bertemu. Jam delapan tepat, ya! Kutunggu. Jangan kemalaman." Teleponku mati. Untung siangnya aku telah membeli baterai baru. Jadi, tak usah cemas bila sekonyong Iin menghubungiku..
Segera aku meluncur ke kafe. Kuambil tempat duduk di sudut, yang sedikit menjorok ke Sungai Musi. Udara terasa menggigilkan. Kupesan lemon hangat. Lalu beberapa potong empek-empek sekeder mengganjal perut yang keroncongan.
Sebenarnya aku sudah kesal. Aku berpikir Iin telah menungguku di kafe. Ternyata tak selintas pun kulihat batang hidungnya. Apakah dia memang sudah ada di tempat itu, tapi aku tak mengenalinya? Terus terang, waktu lima tahun mampu merubah penampilan orang secara drastis.
Pukul sepuluh tepat, Iin tak datang-datang juga. Hampir kutinggalkn kafe, kalau tidak ada telepon masuk darinya.
"Maaf berat, Lang. Aku tak bisa datang ke kafe. Sepertinya aku demam. Kau masih di rumah atau telah di kafe?" Suara Iin terdengar sengau. Dia bersin sekali, kemudian tertawa pelan.
"Oh, aku masih di rumah," jawabku berbohong. Dia pasti tak enak hati mendengarku telah menunggunya dua jam lebih di kafe.