Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pasar Murah

22 Februari 2019   12:30 Diperbarui: 22 Februari 2019   13:13 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku tak mengharapkan ini terjadi. Sangat tak ingin! Kendatipun aku telah berhasil mendapatkan lima kilo beras, dua kilo gula pasir dan sekilo minyak goreng, dengan menerobos lautan manusia di acara pasar murah itu.

Kepala-kepala menyemut dan berkeringat, sedari pagi telah memaksaku fokus ke depan. Fokus berusaha menjangkau tenda beratap terpal biru dengan wajah-wajah Tionghoa yang selalu tersenyum ramah. Hasilnya kau tahu, cengkeraman tanganku di pergelangan tangan Sulai, anakku yang baru berumur dua setengah tahun itu, tak dinyana terlepas. Entak kapan dia lolos dari genggamanku. Aku terlalu berambisi sebagai orang super kere untuk mendapatkan barang-barang  seharga beberapa ribu rupiah itu.

"Anakku!"

Orang-orang di sekelilingku sebentar terganggu oleh teriakanku. Mereka bertanya dengan sorot mata menyelidik. "Anakku hilang!" lanjutku. Berpasang-pasang mata itu menatapku iba. Tapi hanya sebentar saja. Setelah itu mereka merangsek ke depan, menjepitku seakan memencet duri yang menusuk ke kulit tapak kaki. Dan akhirnya aku terlepas dan terengah, menjauh semeter dari lautan manusia itu.

Sulai ke mana? Anakku? Aku mencari-cari dan berdoa kepada Tuhan kiranya turun keajaiban. Misalnya Sulai tiba-tiba terlepas dari lautan manusia dan melihatku sambil meneriakkan 'Ibu'. 

Sayang sekali, aku hanya bermimpi. Bagaimana mungkin mencari seorang anak kecil di kerumunan manusia yang tak habis-habis? Tak surut-surut walaupun petang mulai mengintip dari ufuk barat. Anakku pasti hanya bisa menangis, menjerit-jerit memanggil ibunya. Anakku akan disapa seseorang atau beberapa orang. Anakku dibawa. Sulai diculik!

Perasaanku tak nyaman. Sengaja kulepaskan beban penat di bawah pohon akasia meranggas. Terbayang di benakku bagaimana kalau Sulai benar-benar diculik. Bagaimana kalau dia akhirnya dijadikan umpan iba di perempatan-perempatan jalan. Atau di bawah lampu-lampu lalulintas. Ya, dijadikan pengemis, sama seperti yang beberapa minggu lalu kulihat beritanya di televisi tetangga sebelah rumah. 

Beberapa orang anak usia antara enam sampai dua belas tahun diculik dari sekian ibukota propinsi yang berbeda. Mereka dipaksa mengamen dan mengemis di kota yang sangat jauh dan sangat asing. Mereka menjadi kacung jalanan tanpa bisa melepaskan diri. Kalaupun seorang-dua bisa bebas karena keberanian sekaligus kenekadan, itu hanyalah pengecualian. Itu keberuntungan, sehingga segelintir kejadian penculikan, bisa terbongkar. Segelintir. Hanya segelintir! 

Terbayang pula aku kepada Samingan, suamiku. Lelaki itu amat sangat mengasihi Sulai, sejak memberojol dari rahimku, hingga seusia sekarang ini. Wajah dan tingkah laku Sulai yang setali tiga uang dengannya, pun menambah berlipat-lipat rasa pengasihan itu. Maka itu Samingan tak pernah memarahi Sulai kendati berlaku nakal.

Apa-apa permintaan Sulai selalu diturutinya. Meskipun untuk semua itu terkadang kami harus semakin memperkencang ikat pinggang yang sudah membuat kami megap-megap. Terlebih-lebih ketika aku mengomel kepada Sulai yang senang mengulah. Alih-alih membantuku melembutkan hati anak yang mulai alot itu, Samingan malahan memarahiku. Berani mengangkat tangan hendak menamparku.

Bagaimana pula kalau berita memedihkan ini diketahui Samingan? Oh, oh, anak pengasihannya itu telah hilang di kerumunan manusia kere. Aku yakin dia akan mengerkahku. Aku harus rela menjadi bulan-bulanan omelan, pun pukulan-pukulannya. Yang paling kutakutkan adalah harus pasrah bila dia menjagal nyawaku alias memampuskanku. Oh, Tuhan. Kenapa anak itu bisa terlepas dari cengkeramanku?

"Kau mau ke mana?" Itu ucapan Samingan tadi pagi ketika dia pulang shalat shubuh dari langgar. Dia melihatku mengenakan pakaian yang agak lumayan dan berbedak tipis-tipis. Artinya, aku pasti akan pergi ke suatu tempat.

"Ada pasar murah di kota. Ini jarang terjadi, Pak. Sekali setahun saja, mungkin mustahil!"

"Sulai dititip sama siapa?"

"Biarkah aku bawa. Dititipkan ke rumah Mak, tak mungkin. Mak masih di Jambi."

"Membawa Sulai ke tempat seramai itu?"

"Aku akan menjaganya!"

"Yakin?" Dia ragu-ragu. Direbahkannya tubuh di atas dipan tanpa kasur.

"Aku akan menjaganya!" ulangku.

"Terserahlah! Tapi kau harus benar-benar menjaganya!" Matanya seolah mengancam. Sebelum akhirnya terpejam dan suara napasnya terdengar berat menjelang terlelap .

Mengingat kata-kata terakhir Samingan itu, membuat tubuhku menggigil. Aku tak berani pulang tanpa Sulai. Aku tak ingin dilabrak. Aku tak ingin mengotori tangan Samingan hanya sekadar menyiksa badanku.  Walaupun dia taat menjalankan perintah agama, tapi toh kekuatan apa yang bisa menahan kepasrahan atas kehilangan orang yang dikasihi?  Siapapun bisa gelap mata tak hanya karena kehilangan anak, misalnya. Bahkan diputus cinta oleh pacar, bisa gantung diri atau mencebur ke Sungai Musi. Konon lagi Samingan rela menyerahkan nyawanya jika itu kait-mengait dengan hal tak menyenangkan yang terjadi kepada anak terkasihnya.

"Tak pulang, Romlah? Sudah hampir maghrib!" Bu Bariah menyapaku. "Kalau tak punya ongkos angkot, pulang sama kami saja. Kami numpang pick-up Pak Soleh." Dia menoleh ke arah beberapa ibu yang jalan bersamanya. Mereka mengangguk-angguk pertanda setuju.

"Aku belum bisa pulang, Bu Bariah! Sulai hilang!  Tadi dia terlepas dari tanganku." Aku seolah meratap.

"Sudah kau cari?" 

"Sudah! Tapi bagaimana mencarinya di tengah manusia yang sangat banyak?"

"Woi, mau berangkat, nih!" Pak Soleh melongokkan kepala dari jendela pick-up. Bu Bariah ragu-ragu antara ingin membantuku dan memenuhi panggilan Pak Soleh. Tapi dia akhirnya tak enak hati permisi kepadaku, karena ibu-ibu yang berjalan bersamanya sudah naik ke bak pick-up.

Tinggal aku sendiri tertunduk-tunduk menatap barang bawaanku. Tak ada lagi arti semua itu kalau Sulai hilang. Aku tak berani pulang. Aku gamang bernapas. Selintas ada godaan buruk untuk menceburkan diri ke Sungai Musi seandainya Sulai tak kutemukan lagi. Hanya saja di sebalik hatiku yang lain mengingatkan, bunuh diri bukanlah penyelesaian terbaik. Bila aku bunuh diri, Samingan tak hanya kehilangan seorang yang dikasihinya. Tapi dua orang. Dua orang sekaligus!

Azan maghrib yang berkumandang deras dari Masjid Agung, telah pula menggenapkan petang menjadi sangat remang. Pasar murah mulai lengang. Hanya ada beberapa orang yang berberes kardus-kardus kosong dan memuatnya ke bak truk berwarna kuning terang. Beberapa lagi yang lainnya sibuk memunguti sampah-sampah plastik bekas makanan, juga kertas-kertas koran yang menggunung.  

Segera kuhela kaki mendatangi kelengangan. Dapat kulihat tak ada sama sekali anak kecil di situ apalagi usianya yang masih di bawah lima tahun. Barang bawaanku tak kuhiraukan lagi. Biarlah pohon akasia yang meneduhinya dari gelap. Kalaupun ada yang menginginkannya, aku tak perduli lagi. Aku lebih mementingkan Sulai.

Seorang perempuan dengan pipi merah melihatku. Dia tersenyum dengan tatap mata seperti menyesal. "Maaf, Bu. Pasar murahnya sudah selesai. Barang-barangnya tak ada lagi." Dia tak enak hati, lalu berteriak kepada seorang lelaki berkepala plontos. Lelaki itu mengatakan bahwa semua sudah habis. "Nah, tak ada lagi kan, Bu! Atau?" Dia mengeluarkan uang dari dalam tasnya yang segera  kutampik.

"Aku hanya mencari Sulai, Bu. Anakku!" Suaraku tercekat. Dia semakin iba.

"Anakmu hilang?" Beberapa orang mendekati kami. Masing-masing menunjukkan rasa kasihan. Seroang -dua menepuk-nepuk bahuku pertanda kasihan.

"Siapa nama anak Ibu? Oh, iya saya lupa. Sulai ya, Bu?" Perempuan berpipi merah itu semakin merapatiku. "Apa ibu mempunyai foto anak itu?" Aku lekas menggeleng. Belum sekalipun Sulai difoto. Kami tak memikirkannya. Untuk makan saja susah, apalagi sekadar berfoto. 

"Mungkin lebih baik dilaporkan ke polisi saja ya, Bu? Atau Ibu ada kawan untuk melapor?" Seorang lelaki ubanan bermata sangat sipit ikut sumbang saran.

"Aku datang sendiri ke mari, Pak. Maksudku bersama Sulai."

Sumbang-saran semakin ramai. Mereka bertanya-tanya tentang alamatku. Mereka berjanji akan menemuiku besok pagi dan mengajakku melapor ke kantor polisi. 

Dan malam semakin pekat. Bagaimanapun rasa iba yang menggembung di benak mereka, toh harus pupus karena mereka memiliki kesibukan lain. Mereka masih harus menyelesaikan bisnis ini-itu. Meraka harus pulang ke rumah masing-masing, menjumpai keluarga yang menunggu dengan suka-cita. Ya, suka cita! 

Hari ini hari baru bagi mereka. Hari dengan lampion merah berlampu yang menyala-nyala. Mereka harus berkumpul dengan keluarga seperti aku dan suami berkumpul saling maaf-memaafkan ketika lebaran tiba. 

Tuhan, sekarang ini yang kubutuhkan hanya Sulai. Temukan aku dengan yang terkasih itu.

Apa yang kutakutkan ternyata terbukti. Tak hanya Sulai yang lepas dariku, juga barang bawaan yang entah kenapa kutitipkan kepada pohon akasia itu. Coba, siapa sekarang yang tega membiarkan barang teronggok tanpa pemilik? Ada pemiliknya saja, orang bisa mencuri, mengancam, memalak. Oh, aku tak bisa menangis lagi. Aku tak mampu berpikir lagi. Mungkin pilihan terbaik hanyalah mengubek seluruh tempat di seputaran sini demi mencari Sulai.

Terseok-seok aku mendatangi siapa saja yang masih duduk mengumpul. Bebarapa orang yang sedang mabuk tuak, melihatku mendekat. Merasa tatapan mereka adalah jebakan, buru-buru aku menjauh. Sekumpulan lagi kudatangi, anak-anak yang legam berbaju kusam, ibu-ibu yang muram. Kuteliti masing-masing anak itu. Ya, Tuhan, tak ada juga anakku, si Sulai! Mereka malah mengusirku karena tak ingin kenyamanannya terganggu. 

Suara nyaring ceramah di Masjid Agung, tiba-tiba menarik langkahku mendekat ke sana. Aku merasa bersalah hanya mampu meminta tolong kepada Tuhan, tapi aku sama sekali melupakan kewajibanku sebagai hamba. Dari pagi aku sudah sibuk berebut kebutuhan dunia. Lohor yang membahana, seolah tertutup di telingaku. Ashar yang merayap-rayap, tak sekalipun kurasakan menyentuh kulit ini. Bahkan maghrib terlewat oleh ratapku. Isya melayang karena kebuntuan pikiran. Oh, betapa nistanya hamba-Mu ini.

Aku tiba-tiba tersihir ketika memasuki pelataran Masjid Agung. Bukankah itu Sulai? Ya, Tuhan, itu memang anakku. Dia digendong seorang lelaki. Meskipun pelataran masjid itu temaram sebab ada beberapa lampunya yang mati, aku yakin itu Sulai. 

Ajaib, aku mendadak menemukan kayu balok di pinggiran semak. Ini adalah kesempatan merebut Sulai dari tangan penculik. Harus kurebut dia!

Aku berlari mengejar mereka yang berjalan hampir sepuluh meter di hadapanku. Aku memejamkan mata saking takutnya. 

Buk! Pukulanku mengena telak dan membuat lelaki itu mengaduh. Tapi dia tak terjatuh dan hanya mengerang sambil menoleh ke arahku.

Lelaki itu berteriak, "Ibu!" Lelaki itu menatapku takjub.

Ya, Tuhan! Dia suamiku. "Bapak!" Kupeluk dia erat-erat. Kuciumi Sulai dengan beringas sehingga dia mendorong wajahku. 

---sekian---

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun