"Kau mau ke mana?" Itu ucapan Samingan tadi pagi ketika dia pulang shalat shubuh dari langgar. Dia melihatku mengenakan pakaian yang agak lumayan dan berbedak tipis-tipis. Artinya, aku pasti akan pergi ke suatu tempat.
"Ada pasar murah di kota. Ini jarang terjadi, Pak. Sekali setahun saja, mungkin mustahil!"
"Sulai dititip sama siapa?"
"Biarkah aku bawa. Dititipkan ke rumah Mak, tak mungkin. Mak masih di Jambi."
"Membawa Sulai ke tempat seramai itu?"
"Aku akan menjaganya!"
"Yakin?" Dia ragu-ragu. Direbahkannya tubuh di atas dipan tanpa kasur.
"Aku akan menjaganya!" ulangku.
"Terserahlah! Tapi kau harus benar-benar menjaganya!" Matanya seolah mengancam. Sebelum akhirnya terpejam dan suara napasnya terdengar berat menjelang terlelap .
Mengingat kata-kata terakhir Samingan itu, membuat tubuhku menggigil. Aku tak berani pulang tanpa Sulai. Aku tak ingin dilabrak. Aku tak ingin mengotori tangan Samingan hanya sekadar menyiksa badanku. Â Walaupun dia taat menjalankan perintah agama, tapi toh kekuatan apa yang bisa menahan kepasrahan atas kehilangan orang yang dikasihi? Â Siapapun bisa gelap mata tak hanya karena kehilangan anak, misalnya. Bahkan diputus cinta oleh pacar, bisa gantung diri atau mencebur ke Sungai Musi. Konon lagi Samingan rela menyerahkan nyawanya jika itu kait-mengait dengan hal tak menyenangkan yang terjadi kepada anak terkasihnya.
"Tak pulang, Romlah? Sudah hampir maghrib!" Bu Bariah menyapaku. "Kalau tak punya ongkos angkot, pulang sama kami saja. Kami numpang pick-up Pak Soleh." Dia menoleh ke arah beberapa ibu yang jalan bersamanya. Mereka mengangguk-angguk pertanda setuju.