"Mungkin lebih baik dilaporkan ke polisi saja ya, Bu? Atau Ibu ada kawan untuk melapor?" Seorang lelaki ubanan bermata sangat sipit ikut sumbang saran.
"Aku datang sendiri ke mari, Pak. Maksudku bersama Sulai."
Sumbang-saran semakin ramai. Mereka bertanya-tanya tentang alamatku. Mereka berjanji akan menemuiku besok pagi dan mengajakku melapor ke kantor polisi.Â
Dan malam semakin pekat. Bagaimanapun rasa iba yang menggembung di benak mereka, toh harus pupus karena mereka memiliki kesibukan lain. Mereka masih harus menyelesaikan bisnis ini-itu. Meraka harus pulang ke rumah masing-masing, menjumpai keluarga yang menunggu dengan suka-cita. Ya, suka cita!Â
Hari ini hari baru bagi mereka. Hari dengan lampion merah berlampu yang menyala-nyala. Mereka harus berkumpul dengan keluarga seperti aku dan suami berkumpul saling maaf-memaafkan ketika lebaran tiba.Â
Tuhan, sekarang ini yang kubutuhkan hanya Sulai. Temukan aku dengan yang terkasih itu.
Apa yang kutakutkan ternyata terbukti. Tak hanya Sulai yang lepas dariku, juga barang bawaan yang entah kenapa kutitipkan kepada pohon akasia itu. Coba, siapa sekarang yang tega membiarkan barang teronggok tanpa pemilik? Ada pemiliknya saja, orang bisa mencuri, mengancam, memalak. Oh, aku tak bisa menangis lagi. Aku tak mampu berpikir lagi. Mungkin pilihan terbaik hanyalah mengubek seluruh tempat di seputaran sini demi mencari Sulai.
Terseok-seok aku mendatangi siapa saja yang masih duduk mengumpul. Bebarapa orang yang sedang mabuk tuak, melihatku mendekat. Merasa tatapan mereka adalah jebakan, buru-buru aku menjauh. Sekumpulan lagi kudatangi, anak-anak yang legam berbaju kusam, ibu-ibu yang muram. Kuteliti masing-masing anak itu. Ya, Tuhan, tak ada juga anakku, si Sulai! Mereka malah mengusirku karena tak ingin kenyamanannya terganggu.Â
Suara nyaring ceramah di Masjid Agung, tiba-tiba menarik langkahku mendekat ke sana. Aku merasa bersalah hanya mampu meminta tolong kepada Tuhan, tapi aku sama sekali melupakan kewajibanku sebagai hamba. Dari pagi aku sudah sibuk berebut kebutuhan dunia. Lohor yang membahana, seolah tertutup di telingaku. Ashar yang merayap-rayap, tak sekalipun kurasakan menyentuh kulit ini. Bahkan maghrib terlewat oleh ratapku. Isya melayang karena kebuntuan pikiran. Oh, betapa nistanya hamba-Mu ini.
Aku tiba-tiba tersihir ketika memasuki pelataran Masjid Agung. Bukankah itu Sulai? Ya, Tuhan, itu memang anakku. Dia digendong seorang lelaki. Meskipun pelataran masjid itu temaram sebab ada beberapa lampunya yang mati, aku yakin itu Sulai.Â
Ajaib, aku mendadak menemukan kayu balok di pinggiran semak. Ini adalah kesempatan merebut Sulai dari tangan penculik. Harus kurebut dia!