"Aku belum bisa pulang, Bu Bariah! Sulai hilang! Â Tadi dia terlepas dari tanganku." Aku seolah meratap.
"Sudah kau cari?"Â
"Sudah! Tapi bagaimana mencarinya di tengah manusia yang sangat banyak?"
"Woi, mau berangkat, nih!" Pak Soleh melongokkan kepala dari jendela pick-up. Bu Bariah ragu-ragu antara ingin membantuku dan memenuhi panggilan Pak Soleh. Tapi dia akhirnya tak enak hati permisi kepadaku, karena ibu-ibu yang berjalan bersamanya sudah naik ke bak pick-up.
Tinggal aku sendiri tertunduk-tunduk menatap barang bawaanku. Tak ada lagi arti semua itu kalau Sulai hilang. Aku tak berani pulang. Aku gamang bernapas. Selintas ada godaan buruk untuk menceburkan diri ke Sungai Musi seandainya Sulai tak kutemukan lagi. Hanya saja di sebalik hatiku yang lain mengingatkan, bunuh diri bukanlah penyelesaian terbaik. Bila aku bunuh diri, Samingan tak hanya kehilangan seorang yang dikasihinya. Tapi dua orang. Dua orang sekaligus!
Azan maghrib yang berkumandang deras dari Masjid Agung, telah pula menggenapkan petang menjadi sangat remang. Pasar murah mulai lengang. Hanya ada beberapa orang yang berberes kardus-kardus kosong dan memuatnya ke bak truk berwarna kuning terang. Beberapa lagi yang lainnya sibuk memunguti sampah-sampah plastik bekas makanan, juga kertas-kertas koran yang menggunung. Â
Segera kuhela kaki mendatangi kelengangan. Dapat kulihat tak ada sama sekali anak kecil di situ apalagi usianya yang masih di bawah lima tahun. Barang bawaanku tak kuhiraukan lagi. Biarlah pohon akasia yang meneduhinya dari gelap. Kalaupun ada yang menginginkannya, aku tak perduli lagi. Aku lebih mementingkan Sulai.
Seorang perempuan dengan pipi merah melihatku. Dia tersenyum dengan tatap mata seperti menyesal. "Maaf, Bu. Pasar murahnya sudah selesai. Barang-barangnya tak ada lagi." Dia tak enak hati, lalu berteriak kepada seorang lelaki berkepala plontos. Lelaki itu mengatakan bahwa semua sudah habis. "Nah, tak ada lagi kan, Bu! Atau?" Dia mengeluarkan uang dari dalam tasnya yang segera  kutampik.
"Aku hanya mencari Sulai, Bu. Anakku!" Suaraku tercekat. Dia semakin iba.
"Anakmu hilang?" Beberapa orang mendekati kami. Masing-masing menunjukkan rasa kasihan. Seroang -dua menepuk-nepuk bahuku pertanda kasihan.
"Siapa nama anak Ibu? Oh, iya saya lupa. Sulai ya, Bu?" Perempuan berpipi merah itu semakin merapatiku. "Apa ibu mempunyai foto anak itu?" Aku lekas menggeleng. Belum sekalipun Sulai difoto. Kami tak memikirkannya. Untuk makan saja susah, apalagi sekadar berfoto.Â