Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Combro

7 Februari 2019   08:15 Diperbarui: 7 Februari 2019   08:35 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ref. Foto : pixabay

Pukul sembilan lebih sedikit, perempuan itu sudah berdiri di ambang pintu pagar. Cahaya matahari menyelinap dari sela rambutnya yang jarang. Seperti biasa, dia tersenyum ramah. Nampan seng yang dia junjung, turun perlahan. Disingkapnya penutup dari kain putih bersih itu. 

Jujur, aku tak simpati kepadanya, juga apa yang dia bawa. Selalu kupasang muka masam, kendati dia menanggapi dengan senyuman. Bisa jadi dia tak memiliki perasaan. Karena bagaimanapun aku berusaha membuatnya kecewa, bahkan terluka, toh orang yang tak memiliki perasaan mustahil merasakannya.

"Ibu ada?"

Aku mengutuk dalam hati. Combro, combro! Istrikulah yang menyelamatkan muka perempuan itu. Tentu saja menyelamatkan combronya, dengan membeli belasan buah. Entah siapa nanti yang akan memakannya. Tapi anehnya, setelah aku selesai mengopi di warung pinggir jalan sembari membaca koran pagi, seluruh combro habis tak berbekas. Mangkok licin ibarat dijilat kucing. Kata istriku, dia suka combro. Anak-anak juga.

"Ada!" ketusku.

"Ada rasa baru lho, Pak!"

Aku melengos pergi. Suara istriku menyeruak dari pintu depan. Perempuan itu mendatanginya seakan menerabas pintu pagar. Lamat suara perbincangan mereka memenuhi pagi yang lengang. 

* * *

Sejak pensiun sekitar setengah tahun lalu, tabiatku menjadi pemarah. Pasal sedikit bisa menyemak dan membuat rumah tak nyaman. Aku mulai sering bertengkar dengan  istri. Apalagi setelah kemunculan Mamot, perempuan penjaja combro itu.

Aku yang menggelarinya Mamot. Tubuhnya bongsor menyerupai gajah purba. Padahal namanya bagus, Zulkaidah. Dialah yang tiba-tiba serupa belati menggerogoti uncang keluargaku. Ya, tentu saja dengan kehadirannya setiap pagi, akan keluar kocek berdikit-dikit. Sementara yang mutlak menghasilkan uang (uang pensiun) hanyalah aku. Istriku melulu sanggup menjadi ibu rumah tangga. Dua anakku duduk di bangku SMA, masih muda-muda. Salahku kawin tua. Tapi aku menang sedikit, bisa mengawini perempuan yang usianya lebih muda lima belas tahun dariku.

Selain Mamot ibarat belati, aku juga anti combro. Makanan kampungan itu tak pernah sekalipun bersinggungan denganku. Keluarga besar Muradon---nama ayahku---masih turunan ningrat. Kalau tak ada camilan seperi roti, mungkin biskuit, atau lebih rendah kue basah. Akan halnya combro, tak bisakah kau membayangkannya? Menjijikkan!

Singkong parut dikepal-kepal oleh tubuh bergelambir dan bersimbah keringat. Bagian dalam combro diisi oncom atau bahan pangan lainnya. Wajarlah aku membenci combro. Wajarlah aku membenci Mamot. Tapi istriku dan anak-anak? Huh!

* * *

Pagi ini tak ada jeda bagiku keluar rumah. Yusna, adik istriku, berkunjung. Masih sempat aku menikmati pagi, duduk di teras sambil membaca majalah wanita. Tapi kedatangan Mamot telah menyulut kesal. Hatiku terbakar. Tambah terbakar lagi ketika istriku muncul disusul Yusna, seakan ingin menyambut tamu agung.

Mamot tersenyum penuh gairah. Seisi nampan berpindah tangan. Beberapa lembar uang berpindah tangan. Mamot mengucapkan terima kasih sambil tertunduk-tunduk. Dia sambilkan senyum kepadaku.

Andai Yusna tak ada, sudah kulabrak istriku. Tapi biarlah sekarang mereka bersantai. Mumpung Minggu. Anak-anak juga sedang asyik menonton tivi.

"Wah, makanan kesukaanku nih!" Itu suara Bing, anak sulungku. Buru-buru aku mencibir.

"Sepertinya tak bosan-bosan ya makan combro. Coba deh, Tante. Enak tenan!" Kini Dedek, anak bungsuku yang berceloteh. Dia terbahak. Aku meludah ke pot bunga. 

"Ini makanan kesenangan Tante, lho! Tak usah dikasih tahu, pasti enak tenan." Yusna terkekeh. Dia masih sangat muda. Dia lebih tua tiga tahun dari Bing.

Perbincangan mereka tentang combro, membuat kesal ini membakar sampai ke ubun. Ingin ke warung kopi, pemiliknya sedang kondangan. Jadi, kuadem-ademkan hati sambil menyeruput kopi dan membaca majalah wanita yang seratus persen tak menarik.

"Coba tebak ini isi apa, Tante?"

"Hmm, isi cabe rawit!"

"Salah! Isi gula merah. Hukumannya dicoret hidung." 

Yusna menjerit, kemudian tertawa.

"Ini?"

"Isi gula!"

"Hahaha, Dedek salah. Isi oncom. Coret!"

Ramai sekali. Kuputuskan masuk ke kamar. Istriku menoleh seakan ingin mengajakku bergabung. Aku beralasan mengantuk dan mau tidur. Untuk apa melihat mereka menikmati jajanan buatan Mamtot!

* * *

Penyakit yang kerap menghantui pensiunan, adalah penyakit degeneratif, seperti jantung, diabetes, stroke dan osteoporosis. Itu cerita Mijan yang hampir sepuluh tahun ini pensiun.  Dia menyarankan agar aku jangan tidur terus di rumah. Harus banyak bergerak, berolah raga. Dulu selama masih bekerja, tubuh aktif bergerak ke sana-ke mari. Setelah pensiun tubuh akan terkejut jika tiba-tiba menjadi pasif. Otak pun terimbas, karena tak diasah lagi.

Aku kemudian memilih bersepeda keliling kota tiga kali seminggu. Sepertinya itu cara terbaik untuk sehat dan terhindar dari Mamot. Ya, pikiran dan badanku menjadi segar. Terkadang aku sempatkan berhenti di taman kota, menikmati angin semilir. Aku baru tahu ada tempat sebegitu sejuk. Padahal berapa lama aku tinggal di kota ini? Hampir separuh usia perkawinanku dengan Birah.

Setelah lelah keliling kota pagi ini, tujuan bersantai adalah ke taman. Kusandarkan sepeda ke sebatang pohon. Bekal di rumah berupa dua potong roti dan seplastik kopi susu, menjadi santapan terbaik karena perut sudah minta diisi. 

Tiba-tiba mataku tertumbuk kepada seseorang. Kukucek-kucek mata, antara percaya dan tidak. Apakah itu dia? "Asih!" jeritku. Dia tak menoleh. Ah, mungkin bukan dia. Tapi aku sepertinya tak salah. Itu memang Asih.

Setengah berlari kudekati dia. "Asih, Kan?"

Dia menoleh. Sesaat mengerutkan kening. Lalu, tertawa sedikit terpaksa. Dia mengguncang-guncang tanganku.

"Imran! Kaukah ini?" 

Masih sangat cantik dia. Ehem, dia adalah cinta pertamaku sebelum putus karena jarak yang memisah. "Kau kok tiba-tiba ada di sini?"

"Ada di sini? Ah, kau ini, Imran! Aku sudah tinggal di kota ini lebih dari lima belas tahun. Kau saja yang mungkin sombong tak mau keliling-keliling. Mungkin terlalu sibuk dengan pekerjaan."

Aku tersipu. Selama bekerja, aku memang jarang menikmati suasana di kota ini. Pagi sudah di kantor, sore pulang ke rumah. Hanya sesekali mengajak anak-istri makan-makan di restoran. Terlebih aku sering bertugas ke luar kota, ke pedalaman. Tekadang seminggu, bahkan pernah dua bulan tak pulang-pulang. 

Hai, ternyata kembang melatiku ada di sini. Betapa aku sedikit menyesal. Tapi buru-buru aku menghapus sesal itu. Aku tak mau menghancurkan keharmonisanku dengan Birah. Aku seharusnya bersyukur, bertemu Asih setelah kami sama-sama tua. Coba kalau masih beberapa tahun lalu, mungkin lain ceritanya.

"Aku sering berjalan-jalan di sini. Ya, di rumah tak ada pekerjaan. Mau usaha gado-gado seperti dulu, anakku tak mengijinkan. Dia ingin membahagiakanku. Katanya, kapan lagi bisa menyenangkan orang tua." Dia terdiam sejenak. "Bagaimana kabarmu?"

"Ya, beginilah nasib pensiunan. Alhamdulillah, aku dan keluarga sehat-sehat saja. Sebenarnya aku ingin bekerja apa saja penghilang suntuk dan untuk mengasapi dapur biar lebih mengepul. Tapi sampai sekarang, masih bingung mau kerja apa." 

Kami duduk di bangku taman. Berbincang cukup lama. Sebenarnya, aku yang banyak bercerita. Asih hanya sesekali mendehem, mengucap kata iya atau tidak. Apa dia masih teringat masa pacaran kami? Apa dia masih kesal karena orang tuaku memutus tali percintaan kami karena soal strata sosial? Ya, orang tuaku dengan tangan besi mencerabutku dari sisi Asih, lalu mengirimkanku sekolah ke luar negeri. Bodohnya aku, manut seperti perkutut.

"Bu, ayo kita pulang!" Mendadak seorang perempuan menghalangiku dari terpaan cahaya senja. Jantungku langsung berdebar. Apa? perempuan itu memanggil Asih ibu?

Asih mengenalkanku kepada perempuan itu. Perempuan itu tersenyum sedikit terpaksa. 

"Kami sudah saling mengenal," kataku.

"Oh, syukurlah. Dia Zulkaidah putriku satu-satunya."

"Putrimu?" Aku terbelalak. Aku tak sadar ketika kemudian perempuan itu seakan menyeret ibunya menjauh dariku. Ingin kupanggil mereka. Tapi mereka sudah masuk ke dalam angkutan kota dan berlalu seperti bayu.

* * *

Zulkadiah, Asih. Mamot, combro. Ah! Pikiranku tak tenang. Ada rasa bersalah berkelindan. Begitu lambat rasanya jam bergulir. Malam pun sangat pelan merajut terang. 

Pukul delapan pagi, aku sudah siap-siap di teras. Menunggu seorang perempuan berdiri di ambang pintu pagar, dengan senyum ramahnya, dengan nampan penuh combro.

Sejam lebih sudah menunggu. Tak ada tanda-tanda Zulkaidah akan datang. Aku celingak-celinguk. Bodoh, kenapa aku sampai menggelarinya Mamot? Kenapa aku tak pernah mencicip sedikit saja combro jajaannya? 

"Sedang apa, Pak? Tumben pagi-pagi masih betah di teras. Sedang menunggu Zulkaidah, ya?" Istriku muncul dari dalam rumah. Dia tersenyum menggoda.

"Ah, hanya ingin menikmati hangatnya pagi, kok," dustaku.

* * *

Sia-sialah Imran menunggu. Mamot tak akan datang hari ini, seperti biasa tegak di ambang pintu pagar setiap pukul sembilan lebih sedikit. Juga besok, besoknya lagi. Selamanya! 

Dia masih berjualan combro, tapi bukan ke lorong rumah Imran. Asih telah bercerita kepada Mamot bahwa Imran adalah bekas pacar pertama dan terakhirnya, sebelum dia menikah dengan suami yang minggat entah ke mana. Mamot pernah mencuri baca di buku harian Asih, bahwa Imran telah memberinya benih sebelum hengkang ke luar negeri. Tapi sebagai perempuan rendahan dan tahu diri, semuanya Asih telan sendiri. Dia terpaksa menikah dengan lelaki lain demi membunuh malu. Kemudian si suami pergi karena merasa mendapat getah tanpa mencicipi buah nangka.

Akan hal Zulkaidah, merasa bodoh, kenapa baru sejak bertemu di taman itu, dia baru tahu lelaki itu; Imran yang tak bertanggung jawab!!!

---sekian---

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun