Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Combro

7 Februari 2019   08:15 Diperbarui: 7 Februari 2019   08:35 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ref. Foto : pixabay

"Salah! Isi gula merah. Hukumannya dicoret hidung." 

Yusna menjerit, kemudian tertawa.

"Ini?"

"Isi gula!"

"Hahaha, Dedek salah. Isi oncom. Coret!"

Ramai sekali. Kuputuskan masuk ke kamar. Istriku menoleh seakan ingin mengajakku bergabung. Aku beralasan mengantuk dan mau tidur. Untuk apa melihat mereka menikmati jajanan buatan Mamtot!

* * *

Penyakit yang kerap menghantui pensiunan, adalah penyakit degeneratif, seperti jantung, diabetes, stroke dan osteoporosis. Itu cerita Mijan yang hampir sepuluh tahun ini pensiun.  Dia menyarankan agar aku jangan tidur terus di rumah. Harus banyak bergerak, berolah raga. Dulu selama masih bekerja, tubuh aktif bergerak ke sana-ke mari. Setelah pensiun tubuh akan terkejut jika tiba-tiba menjadi pasif. Otak pun terimbas, karena tak diasah lagi.

Aku kemudian memilih bersepeda keliling kota tiga kali seminggu. Sepertinya itu cara terbaik untuk sehat dan terhindar dari Mamot. Ya, pikiran dan badanku menjadi segar. Terkadang aku sempatkan berhenti di taman kota, menikmati angin semilir. Aku baru tahu ada tempat sebegitu sejuk. Padahal berapa lama aku tinggal di kota ini? Hampir separuh usia perkawinanku dengan Birah.

Setelah lelah keliling kota pagi ini, tujuan bersantai adalah ke taman. Kusandarkan sepeda ke sebatang pohon. Bekal di rumah berupa dua potong roti dan seplastik kopi susu, menjadi santapan terbaik karena perut sudah minta diisi. 

Tiba-tiba mataku tertumbuk kepada seseorang. Kukucek-kucek mata, antara percaya dan tidak. Apakah itu dia? "Asih!" jeritku. Dia tak menoleh. Ah, mungkin bukan dia. Tapi aku sepertinya tak salah. Itu memang Asih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun