Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Combro

7 Februari 2019   08:15 Diperbarui: 7 Februari 2019   08:35 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ref. Foto : pixabay

Setengah berlari kudekati dia. "Asih, Kan?"

Dia menoleh. Sesaat mengerutkan kening. Lalu, tertawa sedikit terpaksa. Dia mengguncang-guncang tanganku.

"Imran! Kaukah ini?" 

Masih sangat cantik dia. Ehem, dia adalah cinta pertamaku sebelum putus karena jarak yang memisah. "Kau kok tiba-tiba ada di sini?"

"Ada di sini? Ah, kau ini, Imran! Aku sudah tinggal di kota ini lebih dari lima belas tahun. Kau saja yang mungkin sombong tak mau keliling-keliling. Mungkin terlalu sibuk dengan pekerjaan."

Aku tersipu. Selama bekerja, aku memang jarang menikmati suasana di kota ini. Pagi sudah di kantor, sore pulang ke rumah. Hanya sesekali mengajak anak-istri makan-makan di restoran. Terlebih aku sering bertugas ke luar kota, ke pedalaman. Tekadang seminggu, bahkan pernah dua bulan tak pulang-pulang. 

Hai, ternyata kembang melatiku ada di sini. Betapa aku sedikit menyesal. Tapi buru-buru aku menghapus sesal itu. Aku tak mau menghancurkan keharmonisanku dengan Birah. Aku seharusnya bersyukur, bertemu Asih setelah kami sama-sama tua. Coba kalau masih beberapa tahun lalu, mungkin lain ceritanya.

"Aku sering berjalan-jalan di sini. Ya, di rumah tak ada pekerjaan. Mau usaha gado-gado seperti dulu, anakku tak mengijinkan. Dia ingin membahagiakanku. Katanya, kapan lagi bisa menyenangkan orang tua." Dia terdiam sejenak. "Bagaimana kabarmu?"

"Ya, beginilah nasib pensiunan. Alhamdulillah, aku dan keluarga sehat-sehat saja. Sebenarnya aku ingin bekerja apa saja penghilang suntuk dan untuk mengasapi dapur biar lebih mengepul. Tapi sampai sekarang, masih bingung mau kerja apa." 

Kami duduk di bangku taman. Berbincang cukup lama. Sebenarnya, aku yang banyak bercerita. Asih hanya sesekali mendehem, mengucap kata iya atau tidak. Apa dia masih teringat masa pacaran kami? Apa dia masih kesal karena orang tuaku memutus tali percintaan kami karena soal strata sosial? Ya, orang tuaku dengan tangan besi mencerabutku dari sisi Asih, lalu mengirimkanku sekolah ke luar negeri. Bodohnya aku, manut seperti perkutut.

"Bu, ayo kita pulang!" Mendadak seorang perempuan menghalangiku dari terpaan cahaya senja. Jantungku langsung berdebar. Apa? perempuan itu memanggil Asih ibu?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun