"Ibu di mana?" Kutatap Nek Banun.
"Di kamar, sedang meratap."
"Meratapiku?"
Nek Banun mengeluh. "Ya, juga meratapi kematian Rung."Â
* * *
Lelaki itu alangkah menawannya. Setiap kali dia tampil di panggung Dul Muluk7), aku selalu terpana. Dia pandai bersilat lidah dan humoris. Setiap kali ada tanggapan Dul Muluk, aku selalu hadir bila pelakon utamanya adalah dia.
Itulah mengapa dia akhirnya menawanku. Mengatakan cinta dan kami berpacaran. Hanya saja kedua orang tuaku tak merestui hubungan kami. Â Dia bukan orang berpunya. Hanya seniman Dul Muluk. Tak pula orang tuaku perduli kehebatannya menyelami Ogan dan Musi. Kehebatannya mengusir buaya.
Tapi cinta yang larat, akhirnya membuat kami mabuk kepayang. Kami melakukan laku kutuk itu di malam buta, di semak ilalang, seminggu sebelum aku menikah dengan lelaki pilihan Ayah.
Sebab apa pula lelaki pilihan ayah itu ternyata tak bisa melakukan tugasnya sebagai suami. Maka, ketika aku mengandung, dia berang dan menceraikanku. Dia yakin janin itu bukan berasal dari benihnya.Â
Dalam hati, aku mengiyakan bahwa janin itu kepunyaan seniman Dul Muluk itu. Â Dia yang kemudian karena sakit hati kepada kedua orang tuaku, menikah dengan perempuan kota. Terkabar kemudian dia berada di Singapura menjadi pawang buayat. Kendati berbilang tahun, akhirnya dia rindu kampung. Dia pulang dan tinggal di pinggir Ogan. Tak ada yang tahu banyak tentangnya, kecuali aku dan keluargaku. Orang hanya tahu dia siluman buaya, yang sebenarnya cerita bohong yang kuhembuskan. Semata-mata aku ingin mengubur masa laluku yang suram, juga menjauhkan perempuan hasil hubungan gelap itu darinya.Â
* * *