Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rung Buaya

1 Februari 2019   14:25 Diperbarui: 1 Februari 2019   14:57 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
pxhere.com/en/photo/575778

Sosok itu berdiri kokoh seperti karang. Kuamati tubuhnya. Tak ada yang aneh. Tak ada sisik atau gelambir. Tak ada kuku panjang dan runcing. Rahangnya tegas, namun bukan menyimpan taring. Tapi kutahu sorot matanya tajam. Kutahu paru-parunya entah rangkap berapa. Bisa jadi dia menyamai buaya. Pernah sekali aku melihatnya menyelam Ogan1), kemudian muncul kembali ke permukaan hampir setengah jam kemudian.

"Dia siluman buaya! Kau tak boleh lagi bertemu dia!" geram Maryam. 

Setelah pertama kali aku bersua lelaki itu, kemudian bersua untuk kali berikutnya, Maryam menunjukkan pitam yang sangat. Hampir tangannya menjangkau dan menjambak rambutku. Dia menceracau seolah membaca mantra. Baginya, bertemu lelaki itu sama saja bertemu pemuja setan. Dan dia tak ingin aku terperangkap. Dia tak ingin aku menjelma siluman buaya.

Pikirku, alangkah naif bicara siluman buaya, sementara tivi dan parabola telah merangsek ke rumah-rumah penduduk. Apakah perlu memikirkan lagi tentang siluman buaya?

Setelah bercermin, barulah kutahu niat Maryam melarangku bertemu dengan lelaki itu. 

Lelaki itu tinggal jauh dari pemukiman penduduk. Di tengah ilalang menyemak sampai sejauh mata memandang. Seolah permadani hijau terhampar. Lelaki itu tinggal di pinggir Ogan. Dalam sebuah gubuk beratap daun nipah. Entah apa kegiatan hari-harinya selain menangkap ikan. Tapi kutahu dia sering ditanggap ketika ada orang yang tenggelam di Musi2). Atau sekadar orang-orangan sawah mengusir buaya yang masuk pemukiman penduduk.

Ya, kutahu karena dada mengkal seperti mengkalnya biji kendondong itu, yang membuat Maryam memagariku dari lelaki itu. Siapa lelaki yang tahan melihat gadis umur tujuh belas tahun, selain paling tidak meliriknya dengan nakal. Pun seorang lelaki seperti dia. Apa tak mungkin berbuat macam-macam kepadaku? Apalagi di kediamannya, tak ada orang lain selain dia---kecuali sewaktu-waktu berdua bersamaku. Tapi kutahu dia tak akan nekad berbuat seperti itu. Dari tatapnya, dia sangat menyayangiku. 

Tiba-tiba cahaya matahari pecah ketika sosok kokoh itu mencebur Ogan. Tubuh liatnya dibasuh air kecoklatan. Rambutnya umpama lumut hitam yang merayap di segala riak. Dia kemudian membelalak. Dia tertawa sambil berenang menjangkau darat. Tubuh kokohnya nyaris memayungiku. 

"Kau menepati janjimu?" Seolah dia tak percaya. Rung memang selalu menganggapku kekanak yang kerap alpa janji.

"Janji kan harus ditepati!"

"Akan hal sekolah?"

"Ini hari libur. Minggu!"

"Akan hal Maryam?"

Aku terdiam. Seekor berang-berang melompat dari sungai. Menerabas rumpun ilalang. Lenyap membawa rusuh yang menjauh hingga senyap.

"Ibu memang harus menjagaku. Seorang perempuan bersama seorang lelaki seperti Rung, mungkin akan berbahaya."

Dia mengibas-ngibaskan rambutnya. "Apa kau masih tak percaya kepadaku? Aku telah menganggapmu anak. Apa ada bapak yang memangsa anaknya."

"Di tivi sering terjadi!"

"Kau percaya pada tivi? Bodoh!" Dia terbahak. Kakinya yang panjang melangkahi parit kecil. Aku bersusah-payah mengikutinya. Berjalan di pematang licin. Sekali aku terpeleset. Rung tak menoleh. Aku menggerutu. Tapi gerutu itu berubah sumringah ketika dia melompat pelan ke atas perahu yang tertambat di tunggul kayu. Kususul pula sambil mengkecipakkan tangan di permukaan Ogan.

"Terima kasih telah meluluskan niatku." Setelah beberapa kali mengajuk diajak pergi mencari ikan di sepanjang Ogan, baru kali ini terwujud. Ada-ada saja alasannya menolak. Karena capek, Ogan lagi tak bersahabat, atau takut dipikir orang kampung dia tengah berbuat tidak-tidak. Siapa yang tak curiga kami berdua-dua di tempat lengang apalagi tak pula bertalian darah?

Perahu melaju pelan. Rung mendayung menyongsong arus. Urat-urat lengannya bertonjolan. Keringatnya terbit. Matahari dengan lembut menyinarinya. 

"Kau belum bercerita tentang asal-usulmu, Rung. Mestikah aku percaya cerita Maryam kalau kau siluman buaya? Tak sekilas kulihat tubuhmu menyerupai itu."

Dia menggeram. Sudah berulangkali dia menunjukkan rasa tak senang bila kukait-kaitkan dia dengan siluman dan buaya. Rung memang kerap menunjukkan kepiawainnya mengusir buaya yang merangsek pemukiman penduduk seperti yang kuceritakan tadi. Rung juga pernah bertarung dengan buaya yang mengamuk. kemudian buaya itu luka dan hilang di semak ilalang. 

Tak lagi kata kami bersambut. Rung menepikan perahu di permukaan Ogan tanpa riak. Dia seolah sendirian. Amuknya sangatkah? Aku merasa bersalah. Seharusnya aku tak mengungkit-ungkit tentang siluman buaya. Dia telah menjadi temanku. Seorang teman yang baik, taklah pernah menyinggung hati temannya, kendati dia buruk rupa. Maaf, aku salah. Harusnya Rung memaafkanku.

Perahu bergoyang hebat. Pinggiran perahu kucengkeram erat. Rung mencebur Ogan. Ombak mengelimpang, kemudian tenang, sepi. Andai aku tak kenal Rung, mungkin kupikir dia sudah mati. Detik yang merangkak menjadi menit, tak ada gelagat dia akan muncul ke permukaan. Atau, adakah dia telah muncul di lubuk lain dan meninggalkanku? Sejahat itukah?

Entah menit keberapa, Ogan membuncah. Sosok kepala dengan wajah menyeringai senang, membuat hatiku lega. Kiranya dia tak meninggalkanku. Marah Rung sudah pupus  oleh air Ogan.

"Kau memang siluman ikan!" katanya. Seekor ikan sebesar lengan, dia campakkan ke dalam perahu.

"Kenapa? Apa karena aku menyebutmu siluman buaya?"

"Hahaha! Tak usah marah! Aku hanya bercanda. Aneh sekali. Biasanya akan susah bagiku mendapat ikan. Berjam hanya dapat sedikit. Tapi ini, baru berapa menit, aku sudah mendapat ikan besar. Mungkin kau siluman ikan, hingga ikan-ikan berkumpul di sini." Dia tertawa lagi, lalu menghilang menyisakan gelombang.

Hampir senja ketika perahu limbung keberatan muatan. Ikan perolehan Rung lumayan banyak. Rung memutuskan pulang saja. Kali ini dia tak perlu mendayung. Perahu mengikuti arus Ogan. 

Ikan hasil tangkapan dimasukkan ke keranjang dari bambu yang diikat di kaki gubuk. Rung akan membawanya ke pasar besok pagi. Dia membakar dua ikan yang besar untuk kami bersantap. Tak apa kalau aku pulang sedikit malam. Dia berjanji mengantarku pulang.

"Apa kau tak takut Ibu?"

"Si Maryam? Apa yang kutakutkan dari perempuan itu?" 

Rung terkekeh. Dia kelihatan lebih muda dari usianya yang hampir menginjak empat puluh tahun. Harusnya aku memanggilnya Pak, atau Mang. Tapi sejak kami bertemu pertama kali, dia lebih suka dipanggil Rung.

Entah muasal apa, tiba-tiba dia mengungkit masalah siluman buaya. Seketika darahku berdesir. Apakah yang dikatakan Maryam tentang Rung benar adanya? Namun, tunggu dulu. Dia bercerita tentang Malik yang masih ada pertalian darah dengannya. Nama Malik pernah kudengar dari beberapa orang kampung. Dan cerita tentang dia dan turunannya, sudah kami mafhumi. 

Konon, ratusan tahun lalu, di desa kami, Pemulutan3) (sebelumnya bernama Sudi Mampir), ada tujuh rumah yang dianugerahi Allah SWT kesaktian. Masing-masing berupa ilmu buaya, ilmu harimau, ilmu ular, ilmu patah tulang, ilmu racun, ilmu besi dan kayu,  serta ilmu menyembuhkan orang gila. Salah satu pemilik rumah itulah yang bernama Malik (pemilik ilmu buaya).

Karena tinggal di pinggiran Ogan, maka tak pelak lagi mereka hidup di lingkungan yang banyak buayanya. Buaya-buaya itu pun sempat memangsa orang. Malik yang tak ingin anak-cucunya tewas dimangsa, sengaja menebang pohon Pulai4). Pohon itu dia lintangkan di Ogan, kemudian mencacah-cacahnya hingga keluar getah. Getah itulah yang dia gunakan untuk memerangkap buaya.

Saat buaya terperangkap, Malik hampir membunuhnya dengan pedang. Tapi tiba-tiba ada empat orang (diperkirakan mahkluk halus penunggang buaya), muncul menghalangi lakunya.

"Kenapa kau sampai menghunus pedang?" tanya mereka.

"Aku tak ingin anak-cucuku dimangsa buaya!"

"Baiklah! Jika kau tak membunuh buaya itu, kami berjanji akan datang membantumu bila ada permasalahan seputar buaya."

Begitulah kira-kira, kesaktian Malik kemudian turun kepada turunan kedua bernama Kamaluddin, gelar Ratu Jurum, turunan ketiga Punggawa Cabuk gelar Ratu Jurung, turunan keempat Tunak gelar Raden Kuning, turunan kelima Imang gelar raden Sentul, turunan keenam Abdullah gelar Raden Intan.

"Dan aku adalah turunan ketujuh. Dari setiap turunan, kesaktiannya semakin berkurang. Sekarang aku hanya bisa mengusir buaya. Tak seperi Muyang5) Malik yang bisa memanggil buaya-buaya dan berjumpa dengan empat makhluk halus penunggangnya." Rung menyerahkan ikan yang sudah matang ke tanganku.

"Aku baru mendengar cerita ini lebih lengkap darimu, Rung. Maafkan Ibu yang sering menyebutmu siluman buaya."

"Tak apa! Dia hanya orang yang belum tahu."

Angin menyambar rambutku. Oh, bukan hanya angin, tapi ada suara menyambar telingaku. Rung tersentak. Senja rupanya sudah beranjak malam. Kilatan cahaya dari bantaran sungai, meyakinkanku ada orang yang datang. Suara-suara itu memanggilku, kemudian beradu serapah menyebut nama Rung.

Wajah Ibu kemudian muncul pertama kali dibalik semak ilalang. Kemudian wajah Mang Ayub, Kak Sulai dan Mirdin. Tiga lelaki itu seolah ingin mengayunkan pentungan di tangan mereka ke kepala Rung. Mata Maryam setajam silet melukai tatap bersalah di mata Rung. Lelaki itu langsung tertunduk.

"Kau apakan anakku? Aku tak ingin kau jadikan dia siluman  buaya!"

Akhirnya Rung dapat menatap mata Maryam. "Siluman buaya dari mana?" 

"Ah, terserah apa katamulah. Dasar! Ayo, kita pulang!" Maryam menyentakkan tanganku.

"Bagaimana tentang lelaki ini? Apa kita hajar sampai mampus?"

"Biarkanlah!" Mata Maryam menjelma magma menggelegak.

"Biarkan bagaimana?" Mang Ayub kurang senang. Tapi kami akhirnya meninggalkan Rung yang lungkrah.

* * *

Maryam membuatku batu yang tak bisa melangkah menemui Rung. Tapi kerinduan yang membebat, menyesak dada. Aku nekad melompat dari jendela kamar menembus malam yang pekat. Aku ingin tahu lebih banyak tentang Rung. Dia belum bercerita bagaimana dia memiliki paru-paru rangkap hingga bisa menyelam berbilang menit bahkan hampir setengah jam. Entah apa yang membuatku seakan terperangkap rindu. Apakah aku tersulut cintanya? Apakah dia telah mengguna-gunaiku? Taklah! 

Di rimbun ilalang, kulihat asap menjulang dari gubuk Rung. Purnama seolah dibekap halimun. Risau menggerogoti hatiku. Marah Maryam dan orang kampung terhadap Rung, mungkinkah menjelma api yang membakar Rung dan gubuknya?

Belasan orang bertariak-teriak di pinggir Ogan sambil mengacung-acungkan senjata tajam. Maryam juga ada di antara mereka. Kebencian tersembur dari mulutnya. Di tiang gubuk, Rung terikat dan kelojotan. Maryam menjepit lenganku.

"Lihatlah, Put! Lihat si brengsek itu! Sekarang harus kau saksikan betapa dia adalah siluman buaya seperti kataku."

Aku mengigil menahan marah. Beberapa lelaki membelit tubuhku. Rung memanggil-manggil namaku. Rung menggapai-gapai. Suaranya yang nyaring berubah parau dan serak. Kemudian menjadi erangan.

Badan Rung mendadak bersisik. Kaki dan tangannya bercakar. Mulutnya bermoncong dan bertaring. 

"Hajar siluman buaya! Hajar  siluman buaya!" Orang-orang berteriak. Menerjang. Mencincang jelmaan Rung.

Aku berontak dan tersentak. Nek Banun, Nek Ilo dan Mang Ayub mengelilingiku. 

"Syukurlah kau sudah sadar, Nak. Telah dua hari kau tak siuman. Minumlah dulu biar badanmu segar," ucap Nek Banun lembut sambil memijat-mijat kakiku.

"Rung mana, Nek? Rung mana?" Aku menggapai lengannya yang kisut.

"Tak usah kau pikirkan Rung!"

Ingatanku kembali ke dua hari lalu, Ya, aku ingat, tiba-tiba buaya masuk kampung. Orang-orang ribut. Buaya itu menyerang Maryam yang sedang mencuci kaki di parit selepas membantu membersihkan gulma di sawah Mang Ayub. Sekonyong Rung muncul dari balik semak ilalang bersenjatakan kuduk6).  Rung menyerang buaya itu. Mereka bergumul, hingga salah satu terkapar. Buaya itu berlari dan menghilang di semak ilalang. Rung bersimbah darah. Kata orang yang kemudian merubung, dia tewas. Kuingat Rung suatu hari bisa mengalahkan buaya. Kali ini, tak lagi. Kesaktian Rung hanya bisa mengusir, bukan mengalahkan buaya.

Tiba-tiba aku pingsan dan siuman dikelilingi orang-orang itu. 

"Ibu di mana?" Kutatap Nek Banun.

"Di kamar, sedang meratap."

"Meratapiku?"

Nek Banun mengeluh. "Ya, juga meratapi kematian Rung." 

* * *

Lelaki itu alangkah menawannya. Setiap kali dia tampil di panggung Dul Muluk7), aku selalu terpana. Dia pandai bersilat lidah dan humoris. Setiap kali ada tanggapan Dul Muluk, aku selalu hadir bila pelakon utamanya adalah dia.

Itulah mengapa dia akhirnya menawanku. Mengatakan cinta dan kami berpacaran. Hanya saja kedua orang tuaku tak merestui hubungan kami.  Dia bukan orang berpunya. Hanya seniman Dul Muluk. Tak pula orang tuaku perduli kehebatannya menyelami Ogan dan Musi. Kehebatannya mengusir buaya.

Tapi cinta yang larat, akhirnya membuat kami mabuk kepayang. Kami melakukan laku kutuk itu di malam buta, di semak ilalang, seminggu sebelum aku menikah dengan lelaki pilihan Ayah.

Sebab apa pula lelaki pilihan ayah itu ternyata tak bisa melakukan tugasnya sebagai suami. Maka, ketika aku mengandung, dia berang dan menceraikanku. Dia yakin janin itu bukan berasal dari benihnya. 

Dalam hati, aku mengiyakan bahwa janin itu kepunyaan seniman Dul Muluk itu.  Dia yang kemudian karena sakit hati kepada kedua orang tuaku, menikah dengan perempuan kota. Terkabar kemudian dia berada di Singapura menjadi pawang buayat. Kendati berbilang tahun, akhirnya dia rindu kampung. Dia pulang dan tinggal di pinggir Ogan. Tak ada yang tahu banyak tentangnya, kecuali aku dan keluargaku. Orang hanya tahu dia siluman buaya, yang sebenarnya cerita bohong yang kuhembuskan. Semata-mata aku ingin mengubur masa laluku yang suram, juga menjauhkan perempuan hasil hubungan gelap itu darinya. 

* * *

Mata Nak Banun redup. Dia tertunduk. Bibirku bergetar.

"Jadi...?" Aku menyelidik rahasia yang seperti tetap ingin dikuncinya rapat-rapat. 

"Jadi, Rung adalah bapakmu!" Sosok Maryam muncul di ambang pintu kamar. Matanya sembab.

---sekian---

  1. Anak Sungai Musi yang melintasi  Palembang dan Kabupaten Ogan Ilir

  2. Sungai yang terletak di Sumatera Selatan yang membelah Kota Palembang menjadi dua; Seberang Ulu dan Seberang Ilir, dengan panjang kurang lebih 750 Km.

  3. Sebuah Kecamatan yang terletak di Kabupaten Ogan Ilir Sumatera Selatan

  4. Sejenis pohon yang banyak getahnya dan hidup di pulau Sumatera dan Jawa

  5. Panggilan untuk generasi keempat dan ke atasnya di Ogan Ilir Sumatera Selatan 

  6. Senjata khas Bumi Besemah Pagaralam Sumatera Selatan

  7. Seni tetaer khas Ogan Ilir dan Palembang, mirip Ketoprak Humor

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun