Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rung Buaya

1 Februari 2019   14:25 Diperbarui: 1 Februari 2019   14:57 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
pxhere.com/en/photo/575778

Tak lagi kata kami bersambut. Rung menepikan perahu di permukaan Ogan tanpa riak. Dia seolah sendirian. Amuknya sangatkah? Aku merasa bersalah. Seharusnya aku tak mengungkit-ungkit tentang siluman buaya. Dia telah menjadi temanku. Seorang teman yang baik, taklah pernah menyinggung hati temannya, kendati dia buruk rupa. Maaf, aku salah. Harusnya Rung memaafkanku.

Perahu bergoyang hebat. Pinggiran perahu kucengkeram erat. Rung mencebur Ogan. Ombak mengelimpang, kemudian tenang, sepi. Andai aku tak kenal Rung, mungkin kupikir dia sudah mati. Detik yang merangkak menjadi menit, tak ada gelagat dia akan muncul ke permukaan. Atau, adakah dia telah muncul di lubuk lain dan meninggalkanku? Sejahat itukah?

Entah menit keberapa, Ogan membuncah. Sosok kepala dengan wajah menyeringai senang, membuat hatiku lega. Kiranya dia tak meninggalkanku. Marah Rung sudah pupus  oleh air Ogan.

"Kau memang siluman ikan!" katanya. Seekor ikan sebesar lengan, dia campakkan ke dalam perahu.

"Kenapa? Apa karena aku menyebutmu siluman buaya?"

"Hahaha! Tak usah marah! Aku hanya bercanda. Aneh sekali. Biasanya akan susah bagiku mendapat ikan. Berjam hanya dapat sedikit. Tapi ini, baru berapa menit, aku sudah mendapat ikan besar. Mungkin kau siluman ikan, hingga ikan-ikan berkumpul di sini." Dia tertawa lagi, lalu menghilang menyisakan gelombang.

Hampir senja ketika perahu limbung keberatan muatan. Ikan perolehan Rung lumayan banyak. Rung memutuskan pulang saja. Kali ini dia tak perlu mendayung. Perahu mengikuti arus Ogan. 

Ikan hasil tangkapan dimasukkan ke keranjang dari bambu yang diikat di kaki gubuk. Rung akan membawanya ke pasar besok pagi. Dia membakar dua ikan yang besar untuk kami bersantap. Tak apa kalau aku pulang sedikit malam. Dia berjanji mengantarku pulang.

"Apa kau tak takut Ibu?"

"Si Maryam? Apa yang kutakutkan dari perempuan itu?" 

Rung terkekeh. Dia kelihatan lebih muda dari usianya yang hampir menginjak empat puluh tahun. Harusnya aku memanggilnya Pak, atau Mang. Tapi sejak kami bertemu pertama kali, dia lebih suka dipanggil Rung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun