Bila sempat, bertandanglah ke mari. Lihatlah Sungai Musi sedemikian dekat. Sangat dekat. Bunyi arusnya yang tenang, bisa kau dengar. Halus.
Kami berumah di sini, Kawan. Di atas Sungai Musi. Di rumah rakit yang mengambang seperti ketek2). Bila sungai surut, rumah rakit kami lebih rendah dari bantaran. Beda kalau sungai pasang, rumah rakit kami sepantar bantaran. Bahkan lebih, karena air telah menggenangi perkambungan di darat.
Namaku Misni. Umurku sekitar empat belas tahun. Itu yang kutangkap dari omongan Emak. Aku tak bersekolah seperti teman-teman di darat. Setiap hari bila jenuh di rumah rakit -selain bertandang ke rumah Nyai Bedah- aku bermain di sungai.Â
Berenang seperti ikan. Berlama-lama hingga aku merasakan tumbuh insang di bawah daguku. Aku seolah memiliki sisik. Jari-jemari tangan dan kakiku, seakan disatukan gelambir. Emak sering menyentakkan halusinasi itu dengan sapu lidi yang digamang-gamangkan di udara.
"Sedari pagi masih berendam terus. Mau jadi apa? Jadi ikan? Apa tak takut dimakan antu banyu? Lihatlah anakmu ini, Yah!" Emak menceracau. Selalu begitu yang dikatakannya. Aku diumpankan sebagai anak Ayah. Bukankah aku anak Emak juga? Aku lahir dari rahimnya!
Biasanya Ayah mendekatiku. Dia membujuk agar aku naik ke darat. Telaten sekali dia mengelap badanku dengan handuk yang bolong di sana-sini. Sambil pula dia berceloteh bahwa kalau mandi di sungai, aku harus mengenakan kain basahan. Aku sudah hampir dewasa. Tubuhku mulai matang. Malu dilihat orang.
Aku pun mengangguk geli, meskipun apa yang diucapkan Ayah, susah kucerna. Aku tetap merasa kanak-kanak. Aku masih ingin dibopong Ayah dari sungai.
"Aku hendak ke pasar, belanja!" Emak mendengus, dan dia seolah terbang ke perkampungan.
Ayah tersenyum kepadaku. Seperti biasa, dia mengajakku ke perkampungan. Mengajakku berkeliling-keliling sebentar naik becak. Kemudian mentitipkanku ke Nyai Bedah, hingga dia pulang menjemputku setelah beroleh cukup uang.
O, ya. Selain tak bersekolah, aku tak ada kawan bermain. Aku dijauhi anak sebaya. Mereka mendekatiku sekadar mengolok-olok. Bila aku marah sambil mengancam dengan sebutir batu atau sebatang dahan, mereka langsung menghambur. Berlarian sambil terkikik-kikik. Kemudian datang lagi sampai mereka bosan sendiri.
"Misni... Misni itu apa, ya?" Anak-anak mulai menggodaku. Ayah sudah pergi  membecak. Nyai Bedah sibuk di dapur rumahnya. "Misni anak buaya putih! Buaya siluman! Misni bisa hidup di sungai berjam-jam. Lihatlah dia memiliki sisik."
"Sisik? Memangnya dia ikan?"
"Buaya juga memiliki sisik!"
Aku bergeming. Tak guna meladeni anak-anak itu. Lebih baik diam di bale-bale sambil memerhatikan anak ayam Nyai Bedah. Sesekali kutaburi menir. Anak-anak ayam itu ribut mengelilingi kakiku.
"Apakah dia bukan anak antu banyu? Hahahaha!"
"Antu banyu? Kalau dilihat lama-lama, memang iya! Rambutnya panjang tak terurus. Apa namanya itu?"
"Gimbal!"
"Ayahnya?"
"Rambut gimbal!"
"Hahaha! Badannya juga seperti antu banyu. Bentuk segi tiga. Badan kecil, kaki besar."
"Matanya juga bercaya kalau marah. Dia memang antu banyu! Anak antu banyu yang tinggal di atas sungai. Hahaha!"
Hatiku panas. Aku meraih sebatang dahan, hendak mengejar anak-anak itu. Tapi Nyai Bedah mendului, seperti banteng, menyeruduk dengan tongkatnya. Anak-anak berhamburan. Bukan lantaran takut kepada Nyai Bedah saja, tapi mereka tak mau basah karena tiba-tiba hujan turun deras.
* * *
Sungai Musi pasang. Airnya keruh, bergelombang. Rumah rakit kami bergoyang-goyang. Kali ini hatiku senang bukan buatan. Ayah juga demikian. Berdua kami duduk di teras rumah sambil memainkan jemari kaki di gelombang air.
O, bukan karena sungai pasang yang membuatku senang. Bukan karena air melantak ke darat, menggenangi rumah anak-anak yang senang menggangguku. Bukan! Aku senang melihat Ayah menambatkan ketek di depan rumah kami. Dari sinilah kami menatap ketek itu terangguk-angguk.
"Besok Ayah tak membecak. Ayah hendak menyelam mencari harta karun di Sungai Musi." Mata Ayah berbinar. Sudah lama dia memang ingin beralih profesi dari pembecak menjadi pencari harta karun. Tapi, lantaran tak ada teman yang mempunyai ketek dan perangkat menambang harta karun, dia kerap memupus hasrat itu.
Konon pula, Emak paling tak setuju Ayah pergi mencari harta karun---maksudku menyelam. Emak was-was Ayah tenggelam. Padahal, aku sangat kenal siapa lelaki hitam berotot itu. Dia orang asli Pemulutan3) Dia kampiun penyelam.Â
Beberapa tahun lalu, orang-orang di bantaran Sungai Musi, sering menganggap Ayah masih keturunan buaya siluman. Bagaimanapun, dia tahan berbilang menit menyelam. Bahkan sekali waktu lebih setengah jam. Berkali pula dia disewa untuk mencari jasad orang yang tenggelam di sungai.
Terkadang aku berpikir, benar kata orang. Ayah mungkin keturunan buaya siluman. Tapi, kendati sering aku pelototi sekujur tubuh Ayah, toh tak ada yang istimewa kalau dia memang keturunan buaya siluman. Kecuali bau keringatnya yang busuk. Ayah pasti menggelitikiku ketika aku mengejeknya dengan sebutan si keringat busuk.
"Kau ingin ikut?" Ayah menatap mataku yang mengerjap-ngerjap. "Ah, tak usahlah! Bahaya! Lagi pula belum tentu kita pulang sore. Pencarian harta karun bisa sampai malam. Bisa sampai berhari-hari. Apa kau sanggup?"
Aku mengangguk. Mataku mengerjap-ngerjap lagi.
* * *
Aneh sekali, tak ada hujan, tak ada badai, tiba-tiba Emak mengangguk saja ketika Ayah mengatakan akan pergi menyelam mencari harta karun. Berkenaan dengan keikutserkaanku, pun tak digubrisnya. Mata Ayah bersinar. Hatiku berbunga-bunga.
Maka, jadilah di pagi yang sejuk, aku ikut Ayah. Ada lima orang bersarung di ketek. Lelaki yang berkumis melintang itu sudah dua kali mengeluh tentangku. Tapi Ayah meyakinkan bahwa aku tak akan rewel dan bisa menjaga diri.Â
Bahkan Ayah sampai menyanjungku kampiun menyelam juga. Kurasakan pipiku merona. Akhirnya lelaki berkumis melintang itu terdiam. Asap rokok dihembuskannya ke langit.
Ada beberapa perkakas di atas ketek. Perlatan yang seperti meja, kata Ayah untuk mengayak lumpur dan barang berharga seperti emas. Ada selang panjang yang tersambung dengan kompresor. Itu kata Ayah untuk peralatan menyelam.Â
Juga ada masker, tali-temali, batangan besi, karung dan beberapa yang tak bisa dijelaskan Ayah satu per satu. Ketek tiba-tiba berhenti. Lokasi pertama menyelam telah ditemukan.
"Sekali ini aku tak perlu memakai kompresor. Bolehlah menguji ketahanan napasku di dasar sungai," sesumbar Ayah. Si kumis melintang tertawa seperti mengejek.
Ayah kemudian menyelam berbilang menit, hingga aku cemas. Si kumis melintang awas melihat ke permukaan sungai. Seperempat jam berselang, barulah Ayah muncul dengan napas megap-megap. Tapi dia berhasil memenuhkan lumpur ke dalam karung duapuluh kiloan yang tadi dibawanya ke dasar sungai.
Siang hari telah ada sedikit barang berharga yang didapat. Bukan seperti emas memang. Hanya berupa benda-benda antik juga besi dan timah. Tapi, jadilah membuat seisi ketek tersenyum lebar.
Ayah kemudian menitipkanku ke ketek Mang Atib yang kebetulan melintas di dekat kami. Senja mulai merapat. Ayah kasihan melihatku mulai kelelahan. Janji Ayah, selepas maghrib akan tiba di rumah.
* * *
Sudah seminggu Ayah sibuk di sungai. Emak bukannya lebih pendiam, tapi cerewetnya menjadi. Pasalnya, penghasilan Ayah tak lagi membuat asap di dapur rutin mengepul setiap hari. Ternyata lebih baiklah dia membecak, begitu kata Emak. Seringlah kudengar mereka bertengkar. Sering pula rasa kesal disasarkan Emak kepadaku.
Hingga suatu senja, saat aku diantar pulang ke rumah oleh Nyai Bedah, kutemukan Ayah terkapar di ruang depan rumah. Beberapa perkakas dapur centang-prenang. Kupikir Ayah sudah mati. Kupikir dia habis bertarung dengan pencuri.Â
Ketika aku akan memegang pundaknya, dia terbangun. Dia mengelus-ngelus kepalaku. Dia membawaku ke  kamar, kemudian menemui Nyai Bedah. Aku tak tahu apa yang mereka perbincangkan. Yang aku tahu, Emak tak ada di rumah sampai malam. Bahkan sampai pagi.
Ayah hampir menaiki ketek ketika mataku ingin bertanya. Dia tahu apa yang sedang berkecamuk di dalam hatiku.
"Maaf, Misni. Ayah tak sanggup mengalahkan antu banyu. Antu banyu berhasil membawa kabur emakmu." Hanya itu.
Hatiku meradang. Kebencianku mencuat kepada antu banyu. Segera aku menyelam ke sungai setelah Ayah pergi. Tapi aku tak menemukan apa-apa selain warna keruh yang kental. Menjelang senja aku bertahan di pinggir teras rumah.Â
Berharap antu banyu datang membawa Emak. Tapi tak! Aku segera memupus harap. Hanya Nyai Bedah yang menjemputku karena mungkin Ayah tak pulang sampai besok pagi.
Yang pasti, sejak hari itu ada lagu baru yang dinyanyikan anak-anak darat. Selain lagu olok-olokan tentang aku anak buaya, antu banyu, ada pula tentang Emak yang dibawa lari antu banyu.
* * *
Wajahku Sumringar. Berdua Ayah, aku pergi ke Pasar 16. Kabarnya Ayah dapat rejeki nomplok di sungai. Ayah berencana makan besar di restoran. Ayah juga ingin membelikanku baju baru.
"Setelah membeli baju baru, apalagi yang kau inginkan?"
Aku menatap Ayah. Kemudian kutunjuk daster berwarna merah marun yang sering diimpikan Emak. Ayah seketika bermuka masam. Aku tak tahu kenapa. Yang pasti dia lebih banyak diam, begitupan saat kami bersantap di restoran.
Untung saja satu slop rokok yang dia beli di toko Tionghoa, membuat wajahnya kembali cerah. Dia kemudian banyak bicara. Dia mengajakku segera pulang setelah membeli mukena untuk Nyai Bedah.
Tapi, tunggu dulu! Tubuhku tiba-tiba menegang. Aku melihat seseorang yang kukenal di keramaian pasar. Itu Emak. Aku melihat dia bersama seorang lelaki. Lelaki itukah antu banyu yang menculik Emak?
"Au...au...iu..." Aku mencoba berbicara dengan Ayah. Kutarik-tarik tangannya.
"Ayo, cepat! Hampir hujan." Ayah menarikku ke dalam bis kota.
Masih kulihat antu banyu itu tertawa lebar sambil menggandeng Emak ke dalam toko emas.
---sekian---
Catatan  :
1.Hantu Air (sejenis hantu sungai yang kabarnya ada di Sungai Musi, dan beberapa sungai di Sumatera Selatan dengan sedikit perubahan penyebutan).
2.Perahu
3.Nama suatu daerah di Sumatera Selatan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H