"Sisik? Memangnya dia ikan?"
"Buaya juga memiliki sisik!"
Aku bergeming. Tak guna meladeni anak-anak itu. Lebih baik diam di bale-bale sambil memerhatikan anak ayam Nyai Bedah. Sesekali kutaburi menir. Anak-anak ayam itu ribut mengelilingi kakiku.
"Apakah dia bukan anak antu banyu? Hahahaha!"
"Antu banyu? Kalau dilihat lama-lama, memang iya! Rambutnya panjang tak terurus. Apa namanya itu?"
"Gimbal!"
"Ayahnya?"
"Rambut gimbal!"
"Hahaha! Badannya juga seperti antu banyu. Bentuk segi tiga. Badan kecil, kaki besar."
"Matanya juga bercaya kalau marah. Dia memang antu banyu! Anak antu banyu yang tinggal di atas sungai. Hahaha!"
Hatiku panas. Aku meraih sebatang dahan, hendak mengejar anak-anak itu. Tapi Nyai Bedah mendului, seperti banteng, menyeruduk dengan tongkatnya. Anak-anak berhamburan. Bukan lantaran takut kepada Nyai Bedah saja, tapi mereka tak mau basah karena tiba-tiba hujan turun deras.