Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Antu Banyu 1

1 Februari 2019   10:58 Diperbarui: 2 Februari 2019   13:17 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika aku akan memegang pundaknya, dia terbangun. Dia mengelus-ngelus kepalaku. Dia membawaku ke  kamar, kemudian menemui Nyai Bedah. Aku tak tahu apa yang mereka perbincangkan. Yang aku tahu, Emak tak ada di rumah sampai malam. Bahkan sampai pagi.

Ayah hampir menaiki ketek ketika mataku ingin bertanya. Dia tahu apa yang sedang berkecamuk di dalam hatiku.

"Maaf, Misni. Ayah tak sanggup mengalahkan antu banyu. Antu banyu berhasil membawa kabur emakmu." Hanya itu.

Hatiku meradang. Kebencianku mencuat kepada antu banyu. Segera aku menyelam ke sungai setelah Ayah pergi. Tapi aku tak menemukan apa-apa selain warna keruh yang kental. Menjelang senja aku bertahan di pinggir teras rumah. 

Berharap antu banyu datang membawa Emak. Tapi tak! Aku segera memupus harap. Hanya Nyai Bedah yang menjemputku karena mungkin Ayah tak pulang sampai besok pagi.

Yang pasti, sejak hari itu ada lagu baru yang dinyanyikan anak-anak darat. Selain lagu olok-olokan tentang aku anak buaya, antu banyu, ada pula tentang Emak yang dibawa lari antu banyu.

* * *

Wajahku Sumringar. Berdua Ayah, aku pergi ke Pasar 16. Kabarnya Ayah dapat rejeki nomplok di sungai. Ayah berencana makan besar di restoran. Ayah juga ingin membelikanku baju baru.

"Setelah membeli baju baru, apalagi yang kau inginkan?"

Aku menatap Ayah. Kemudian kutunjuk daster berwarna merah marun yang sering diimpikan Emak. Ayah seketika bermuka masam. Aku tak tahu kenapa. Yang pasti dia lebih banyak diam, begitupan saat kami bersantap di restoran.

Untung saja satu slop rokok yang dia beli di toko Tionghoa, membuat wajahnya kembali cerah. Dia kemudian banyak bicara. Dia mengajakku segera pulang setelah membeli mukena untuk Nyai Bedah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun