Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Antu Banyu 1

1 Februari 2019   10:58 Diperbarui: 2 Februari 2019   13:17 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

* * *

Sungai Musi pasang. Airnya keruh, bergelombang. Rumah rakit kami bergoyang-goyang. Kali ini hatiku senang bukan buatan. Ayah juga demikian. Berdua kami duduk di teras rumah sambil memainkan jemari kaki di gelombang air.

O, bukan karena sungai pasang yang membuatku senang. Bukan karena air melantak ke darat, menggenangi rumah anak-anak yang senang menggangguku. Bukan! Aku senang melihat Ayah menambatkan ketek di depan rumah kami. Dari sinilah kami menatap ketek itu terangguk-angguk.

"Besok Ayah tak membecak. Ayah hendak menyelam mencari harta karun di Sungai Musi." Mata Ayah berbinar. Sudah lama dia memang ingin beralih profesi dari pembecak menjadi pencari harta karun. Tapi, lantaran tak ada teman yang mempunyai ketek dan perangkat menambang harta karun, dia kerap memupus hasrat itu.

Konon pula, Emak paling tak setuju Ayah pergi mencari harta karun---maksudku menyelam. Emak was-was Ayah tenggelam. Padahal, aku sangat kenal siapa lelaki hitam berotot itu. Dia orang asli Pemulutan3) Dia kampiun penyelam. 

Beberapa tahun lalu, orang-orang di bantaran Sungai Musi, sering menganggap Ayah masih keturunan buaya siluman. Bagaimanapun, dia tahan berbilang menit menyelam. Bahkan sekali waktu lebih setengah jam. Berkali pula dia disewa untuk mencari jasad orang yang tenggelam di sungai.

Terkadang aku berpikir, benar kata orang. Ayah mungkin keturunan buaya siluman. Tapi, kendati sering aku pelototi sekujur tubuh Ayah, toh tak ada yang istimewa kalau dia memang keturunan buaya siluman. Kecuali bau keringatnya yang busuk. Ayah pasti menggelitikiku ketika aku mengejeknya dengan sebutan si keringat busuk.

"Kau ingin ikut?" Ayah menatap mataku yang mengerjap-ngerjap. "Ah, tak usahlah! Bahaya! Lagi pula belum tentu kita pulang sore. Pencarian harta karun bisa sampai malam. Bisa sampai berhari-hari. Apa kau sanggup?"

Aku mengangguk. Mataku mengerjap-ngerjap lagi.

* * *

Aneh sekali, tak ada hujan, tak ada badai, tiba-tiba Emak mengangguk saja ketika Ayah mengatakan akan pergi menyelam mencari harta karun. Berkenaan dengan keikutserkaanku, pun tak digubrisnya. Mata Ayah bersinar. Hatiku berbunga-bunga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun