Ketika aku akan memegang pundaknya, dia terbangun. Dia mengelus-ngelus kepalaku. Dia membawaku ke  kamar, kemudian menemui Nyai Bedah. Aku tak tahu apa yang mereka perbincangkan. Yang aku tahu, Emak tak ada di rumah sampai malam. Bahkan sampai pagi.
Ayah hampir menaiki ketek ketika mataku ingin bertanya. Dia tahu apa yang sedang berkecamuk di dalam hatiku.
"Maaf, Misni. Ayah tak sanggup mengalahkan antu banyu. Antu banyu berhasil membawa kabur emakmu." Hanya itu.
Hatiku meradang. Kebencianku mencuat kepada antu banyu. Segera aku menyelam ke sungai setelah Ayah pergi. Tapi aku tak menemukan apa-apa selain warna keruh yang kental. Menjelang senja aku bertahan di pinggir teras rumah.Â
Berharap antu banyu datang membawa Emak. Tapi tak! Aku segera memupus harap. Hanya Nyai Bedah yang menjemputku karena mungkin Ayah tak pulang sampai besok pagi.
Yang pasti, sejak hari itu ada lagu baru yang dinyanyikan anak-anak darat. Selain lagu olok-olokan tentang aku anak buaya, antu banyu, ada pula tentang Emak yang dibawa lari antu banyu.
* * *
Wajahku Sumringar. Berdua Ayah, aku pergi ke Pasar 16. Kabarnya Ayah dapat rejeki nomplok di sungai. Ayah berencana makan besar di restoran. Ayah juga ingin membelikanku baju baru.
"Setelah membeli baju baru, apalagi yang kau inginkan?"
Aku menatap Ayah. Kemudian kutunjuk daster berwarna merah marun yang sering diimpikan Emak. Ayah seketika bermuka masam. Aku tak tahu kenapa. Yang pasti dia lebih banyak diam, begitupan saat kami bersantap di restoran.
Untung saja satu slop rokok yang dia beli di toko Tionghoa, membuat wajahnya kembali cerah. Dia kemudian banyak bicara. Dia mengajakku segera pulang setelah membeli mukena untuk Nyai Bedah.