Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ibu

30 Januari 2019   11:09 Diperbarui: 30 Januari 2019   11:33 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ref. Foto : pixabay

Aku mengenal perempuan itu begitu dekat dalam separuh hidupku. Dia seorang penyayang, sehingga ketika kucoba menguras kasih-sayangnya selama sekian tahun, tetap saja kasih sayang itu tak berkurang. Dia bagai memiliki laut dalam hatinya. Dia selalu memahamiku pada setiap lempar senyumnya. 

Pada semangkok mie hangat yang terhidang setiap kupulang sekolah dan kehujanan. Pada segelas susu yang menyelingi. Juga air yang sengaja terburu dijerangkan demi kumandi. Belum lagi masa balitaku yang penuh tipu-daya pada ketulusannya. Toh, dia memberi segalanya, bahkan nyawa sekalipun. Maka ketika aku meninggalkannya belasan tahun ke negeri orang, lalu kembali untuk pergi lagi, kulihat dia bukan lagi perempuan itu. 

Dia tiba-tiba memiliki kasih-sayang yang sempit. Ibarat parit yang membelah jalan dan pematang sawah, sehingga saat kutangguk sedikit airnya, tentulah habis binasa. Apakah kemarau yang panjang telah membuat kasih-sayangnya kering?

"Bu, marilah turuti ajakanku. Aku dan suami begitu senang bila ibu bersama kami. Perkara paspor, kami urus segera. Bahkan aku berniat sekuat tenaga menjadikan ibu berkewarganegaraan Malaysia. Bukan begitu?" tanya kulemparkan kepada Cik Hamid, suamiku, yang tengah asyik bermain playstation  bersama anak tunggal kami.

"Iyalah pula," jawab suamiku singkat. Dia hanya sebentar menoleh, kemudian menatap layar kaca dengan semangat lagi.

Sebenarnya perempuan yang biasa kupanggil ibu itu tak sendirian di kampung kami. Ada Bi Masitoh dan Om Arman yang tinggal dengan jarak tiga rumah dari kediaman ibu. Tapi umur mereka sudah lanjut. Mereka pasti tak dapat sesering mungkin melihat ibu. Bi Masitoh mengidap penyakit sesak napas. Sedang Om Arman susah berjalan setelah terkena stroke ringan. Di rumah, selain ibu, ada Mbem Mama. Dia pembantu di keluargaku sejak puluhan tahun lalu. Sekarang matanya sudah tak awas. Jalannya pun seok-seok. Kuyakin, mungkin ibu yang lebih sering membantu Mbem Mama, ketimbang Mbem Mama yang membantunya.

"Aku takut ibu kenapa-kenapa. Aku tak ingin kelak dipersalahkan. Apa kata orang? Lihat, si Yenti tak tahu diuntung. Mentang-mentang sudah jaya di negeri jiran, dia lupa kepada ibunya. Kasihan, bagaimana kalau dia sakit? Siapa yang akan perduli?"

"Aku tak akan kenapa-kenapa, Yen! Lagian uang yang sering kau kirimkan, tetap membuatku sehat. Tak usah pusinglah. Aku tak ingin sakit di negeri orang. Aku tak ingin mati di sana. Kau tahu, Yen, keinginanku hanya satu sekarang. Ketika meninggal, jasadku harus dikubur di Tanah Kusen, tempat saudara-saudara kita bersemayam."

"Di negeri jiran juga banyak kuburan, Bu. Lagipula, kenapa pikiran ibu hanya mati... melulu. Ibu belum terlalu tua!"

"Ah, kau mengada-ada saja. Yang penting aku tetap di sini. Titik!"

Aku menjadi bingung. Sekarang dunia harus dibalik. Dulu, ibulah yang memiliki kasih-sayang seluas laut. Sekarang, sanggupkah aku menampungnya dalam wadahku yang sempit? Aku merasa tak mungkin memiliki laut kasih-sayang kepada ibu. Lagipula, kasih-sayang seluas laut itu, adalah jatah anak tunggalku Karena keengganannya tinggal di Malaysia, membuatku sering mengeluhkannya kepada Cik Hamid..

"Bagaimana kalau kita bohongi saja ibu? Kita ajak dia berkunjung ke rumah Mamat di Jakarta. Dia pasti senang," ucap suamiku saat berdua denganku di kamar.

"Pulangnya bagaimana?" jawabku.

"Pulangnya, ya... ke Malaysia. Ibu mana berani berbuat ulah selain di tempat ini. Jakarta itu luas dan sangat menakutkan. Ibu pasti mau saja kita ajak."

"Ibu  bukan bodoh, Pak. Kalau dia merasa terpaksa, apa kita kelak tahan seandainya ibu merajuk? Bapak tak tahu kalau dia merajuk. Makan ogah, bercakap pun enggan. Ibu juga suka nekad. Dulu, ketika mendiang ayah ketahuan selingkuh, ibu malah bunuh diri nyebur ke sumur. Untung musim kemarau, dan air sumur dangkal. Kalau tidak bagaimana? Aku takut dia berbuat serupa!"

"Jadi bagaimana?" Cek Hamid menatapku. Dia merebahkan diri di kasur. Rengekan si kecil, anak kami, yang meminta ditemani pipis, membuatku menghentintikan pembicaraan.

"Entahlah!"

* * *

"Bu! Dua hari lagi kami pulang. Bagaimana dengan ajakan kami tinggal di Malaysia?" tanyaku merayu sambil memijit-mijit tengkuknya.

Dia mendesah. Kutahu wajahnya pasti berubah murung. Dia tentu sedih karena harus kembali berpisah dalam waktu cukup lama. Barangkali tiga atau empat tahun ke depan, kami baru bisa bersua. Jarak yang cukup jauhlah yang membuat masalah ini. Tentu, ditambah kesibukan Cek Hamid yang bekerja di pengeboran Petronas lepas pantai. Belum lagi urusanku yang bertumpuk sebagai dokter ahli kandungan.

Dua mingguan lalu, ketika aku meninggalkan Malaysia, masih banyak pasien yang mencoba meneleponku. Namun kuberi alternatif konsultasi kandungan kepada rekan dokter yang lain. Ya, mereka pasti kecewa. Ini demi kenyamananku sendiri. Pertama, aku ingin istirahat sejenak, sekaligus berlibur bersama keluarga. Karena kebetulan Cek Hamid sedang cuti panjang. Kedua, aku kangen kepada ibu, dan ingin menjenguknya. Tiga tahunan lebih kami tak bersua.

"Kenapa secepat itu? Tinggallah di sini seminggu lagi," rajuk ibu. "Aku masih kangen kepada kalian. Lagiupula, ibu berencana mengajak Ito ke rumah Zaenab. Dia mempunyai kolam besar. Tiga hari lagi panen. Ito pasti senang memanen ikan. Di Malaysia pasti tak ada yang begituan." Ito itu nama anakku. Sedangkan Zaenab adalah sepupu ibu dari nenek, yang tinggal sekitar limapuluhan kilometer dari rumah ibu.

"Cek Hamid harus bekerja, Bu. Aku juga." Aku berhenti memijit pundaknya. Perlahan aku memutari tubuhnya, kemudian duduk bersila di ujung kakinya. "Bagaimana, Bu?"

Dia berpaling. Air mukanya masam. "Pokoknya ibu tetap akan di sini. Titik!"

"Bukan, Bu! Bukan ke Malaysia maksudku. Ibu kan sudah lama tak bertemu Mamat.  Kami mau mengajak ibu ke Jakarta bertemu dia. Bagaimana, Bu?"

"Bagaimana, Ya?"

"Misalkan ibu ikut ke Jakarta, ya... mau sekalian ke Malaysia, terserah ibu. Aku tak memaksa. Kalau tak ikut, tinggallah di rumah Mamat sebetah ibu. Bagaimana?" Aku tersenyum. Wajah ibu ragu-ragu. Dia memang sangat menyayangiku sekeluarga. Berbeda dengan Mamat. Walau dia sayang sama anak sulungnya itu, tapi dia kurang senang sama sang istrinya. Kelewat judes dan tak bisa masak katanya. Mungkin, itulah yang menyebabkannya ragu.

"Aku malas, ah tinggal di rumah Mamat. Kalau masih ada kalian, itu tak masalah. Tapi kalau sudah terbang ke Malaysia, ibu juga harus pulang. Aku tak ingin panen padiku terbengkalai. Tak kau lihat padi di sawah kita sudah sangat runduk dengan bulir-bulir yang bunting?"

"Baiklah, kalau begitu ibu setuju, kan?" tembakku langsung.

Dia mengangguk. Masih ragu-ragu.

* * *

"Sip, Pak! Ibu mau diajak ke Jakarta!" jeritku mendekati Cek Hamid. Dia langsung menyelamaku dengan wajah sumringah. "Tapi aku ragu. Setelah ke Jakarta bagaimana, ya?" Aku tiba-tiba membayangkan kesedihan yang merayapi wajah ibu. Dia pasti sangat kecewa kalau mengetahui rencana ke rumah Mamat itu hanya trik agar dia terjebak, dan tak bisa menolak diajak ke Malaysia. Bagaimana kalau dia merajuk ingin diantar pulang ke kampung? Ach, aku tak dapat membayangkan betapa orang yang sangat letih melayaniku semenjak kecil, harus terkoyak hatinya.

"Sudahlah! Tak usah harus!" Cek Hamid menguatkan hatiku sambil merengkuh lenganku erat-erat. Aku menatapnya, kemudian merebahkan kepala di dadanya yang bidang.

Meski masih menyimpan keraguan di dada, tapi harapanku melayani ibu di Malaysia menjalani hari tuanya, hampir terwujud.  Perkara ibu kelak merajuk dan sakit hati, itu adalah resiko kecil.

Tapi harapanku buyar manakala Mbem Mama menemuiku di kamar sehari menjelang keberangkatan kami ke Jakarta. Katanya ibu tiba-tiba tak enak badan. Ibu memutuskan tak akan ikut bersamaku ke rumah Mamat di Jakarta.

Segera aku menemui ibu di kamarnya.

"Kenapa, Bu? Ibu sakit?" Kulihat dia berselimut. Mendengar suaraku, dia menurunkan selimut sebatas perut. Matanya terbuka perlahan. Sayu. Lalu selempar senyuman dia berikan kepadaku.

"Sepertinya ibu tak akan bisa ikut ke rumah Mamat di Jakarta. Nanti kalau ibu sakit parah dalam perjalanan, bagaimana?" Ibu duduk seperti hendak muntah. Bergegas kuambil pispot yang memang selalu ada di kolong tempat tidurnya. Tapi dia tak jadi muntah. Dia hanya memintaku mengambilkan air teh hangat di atas meja rias.

"Tapi, kami juga tak akan bisa membiarkan ibu sakit begini. Kepulangan kami harus ditangguhkan," kataku.

"Tak apalah! Ibu sudah berobat kok ke Mantri Samin. Kalian pulanglah kalau mau pulang. Nanti pekerjaan kalian terbengkalai di negeri orang."

Aku menemui Cek Hamid yang sedang asyik merokok di teras rumah. Kuutarakan tentang ibu yang sedang sakit, sehingga dia terlonjak. Begitu kuanjurkan agar menangguhkan kepulangan kami ke Malaysia beberapa hari, dia langsung menolak halus. Bosnya sudah menelepon bahwa dia harus sudah harus bekerja tiga hari ke depan. Berarti... ah...

Tapi saat kami hampir berangkat menuju Medan, selanjutnya ke Jakarta, ibu tiba-tiba segar bugar. Wajahnya cerah dan basah bekas mengambil air wudhuk. Dia mencium pipi Ito, mencium keningku dan menyalami Cek Hamid. Dia sangat gagah mengantar kepergian kami.

"Hahaha! Ibu hanya mengerjai kalian. Ibu hanya pura-pura sakit biar tak jadi diajak ke Jakarta," katanya membongkar rahasianya.

Aku melotot. "Yang benar, Bu. Aku takut sekarang ibu hanya berpura-pura sehat," sindirku. Dia tertawa lagi.

"Sudah sehat, kok!" Dia memastikan. Aku mengedikkan bahu sambil bergegas memasuki mobil travel yang akan membawa kami ke Medan. Kemudian lambat-laun bayang-bayang tentang kampungku, ibu dan Mbem Mama, serta seluruh sanak famili, lambat-laun menghilang satu demi satu dari ingatanku. Sekarang hanya ada rencana untuk menyelesaikan pekerjaan menumpuk di Malaysia beberapa hari lagi. Tentu aku harus sering-sering lembur. Kulihat Cek Hamid dan Ito. Dua-duanya sudah mendengkur.

Dari Medan, kami naik pesawat menuju Jakarta. Mamat sudah menunggu kami di Bandara Soekarno Hatta. Tiba-tiba saat hendak menaiki mobil Mamat, hp-ku berbunyi. Tertulis di layar nama ibu. Hmm, dia pasti hanya ingin mengetahui keadaan kami apakah tetap sehat-sehat saja. Ibu memang sangat perhatian. Padahal sejak berangkat dari kampung, aku sama sekali tak pernah menelepon ibu. Mungkin karena kepalaku dipenuhi berbagai rencana-rencana yang harus dilaksanakan beberapa hari ke depan.

"Ya, hallo. Ibu, ya?"

"Bukan, Non. Tapi... tapi... Mbem Mama. Tapi....."

"Tapi kenapa Mbem Mama!"

"Kenapa? Ada apa dengan ibu?" Perasaanku tak enak, dan ingat ibu.

"Ibu sakit keras. Non pulang dulu lagi ke kampung!"

Klik! Telepon mati.

Ibu sakit keras? Seketika tubuhku panas-dingin. Berarti ibu sakit kemarin itu, memang sebenar-benar sakit. Semoga dia panjang umur, Tuhan. Semoga kata-kata sakit keras itu bukanlah kata-kata penghalus bahwa sebenranya ibu sudah meningg... ah... tidak, Tuhan! Panjangkanlah  umur ibuku.

---sekian---

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun