Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ibu

30 Januari 2019   11:09 Diperbarui: 30 Januari 2019   11:33 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ref. Foto : pixabay

"Cek Hamid harus bekerja, Bu. Aku juga." Aku berhenti memijit pundaknya. Perlahan aku memutari tubuhnya, kemudian duduk bersila di ujung kakinya. "Bagaimana, Bu?"

Dia berpaling. Air mukanya masam. "Pokoknya ibu tetap akan di sini. Titik!"

"Bukan, Bu! Bukan ke Malaysia maksudku. Ibu kan sudah lama tak bertemu Mamat.  Kami mau mengajak ibu ke Jakarta bertemu dia. Bagaimana, Bu?"

"Bagaimana, Ya?"

"Misalkan ibu ikut ke Jakarta, ya... mau sekalian ke Malaysia, terserah ibu. Aku tak memaksa. Kalau tak ikut, tinggallah di rumah Mamat sebetah ibu. Bagaimana?" Aku tersenyum. Wajah ibu ragu-ragu. Dia memang sangat menyayangiku sekeluarga. Berbeda dengan Mamat. Walau dia sayang sama anak sulungnya itu, tapi dia kurang senang sama sang istrinya. Kelewat judes dan tak bisa masak katanya. Mungkin, itulah yang menyebabkannya ragu.

"Aku malas, ah tinggal di rumah Mamat. Kalau masih ada kalian, itu tak masalah. Tapi kalau sudah terbang ke Malaysia, ibu juga harus pulang. Aku tak ingin panen padiku terbengkalai. Tak kau lihat padi di sawah kita sudah sangat runduk dengan bulir-bulir yang bunting?"

"Baiklah, kalau begitu ibu setuju, kan?" tembakku langsung.

Dia mengangguk. Masih ragu-ragu.

* * *

"Sip, Pak! Ibu mau diajak ke Jakarta!" jeritku mendekati Cek Hamid. Dia langsung menyelamaku dengan wajah sumringah. "Tapi aku ragu. Setelah ke Jakarta bagaimana, ya?" Aku tiba-tiba membayangkan kesedihan yang merayapi wajah ibu. Dia pasti sangat kecewa kalau mengetahui rencana ke rumah Mamat itu hanya trik agar dia terjebak, dan tak bisa menolak diajak ke Malaysia. Bagaimana kalau dia merajuk ingin diantar pulang ke kampung? Ach, aku tak dapat membayangkan betapa orang yang sangat letih melayaniku semenjak kecil, harus terkoyak hatinya.

"Sudahlah! Tak usah harus!" Cek Hamid menguatkan hatiku sambil merengkuh lenganku erat-erat. Aku menatapnya, kemudian merebahkan kepala di dadanya yang bidang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun