"Sudah sehat, kok!" Dia memastikan. Aku mengedikkan bahu sambil bergegas memasuki mobil travel yang akan membawa kami ke Medan. Kemudian lambat-laun bayang-bayang tentang kampungku, ibu dan Mbem Mama, serta seluruh sanak famili, lambat-laun menghilang satu demi satu dari ingatanku. Sekarang hanya ada rencana untuk menyelesaikan pekerjaan menumpuk di Malaysia beberapa hari lagi. Tentu aku harus sering-sering lembur. Kulihat Cek Hamid dan Ito. Dua-duanya sudah mendengkur.
Dari Medan, kami naik pesawat menuju Jakarta. Mamat sudah menunggu kami di Bandara Soekarno Hatta. Tiba-tiba saat hendak menaiki mobil Mamat, hp-ku berbunyi. Tertulis di layar nama ibu. Hmm, dia pasti hanya ingin mengetahui keadaan kami apakah tetap sehat-sehat saja. Ibu memang sangat perhatian. Padahal sejak berangkat dari kampung, aku sama sekali tak pernah menelepon ibu. Mungkin karena kepalaku dipenuhi berbagai rencana-rencana yang harus dilaksanakan beberapa hari ke depan.
"Ya, hallo. Ibu, ya?"
"Bukan, Non. Tapi... tapi... Mbem Mama. Tapi....."
"Tapi kenapa Mbem Mama!"
"Kenapa? Ada apa dengan ibu?" Perasaanku tak enak, dan ingat ibu.
"Ibu sakit keras. Non pulang dulu lagi ke kampung!"
Klik! Telepon mati.
Ibu sakit keras? Seketika tubuhku panas-dingin. Berarti ibu sakit kemarin itu, memang sebenar-benar sakit. Semoga dia panjang umur, Tuhan. Semoga kata-kata sakit keras itu bukanlah kata-kata penghalus bahwa sebenranya ibu sudah meningg... ah... tidak, Tuhan! Panjangkanlah  umur ibuku.
---sekian---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H