Meski masih menyimpan keraguan di dada, tapi harapanku melayani ibu di Malaysia menjalani hari tuanya, hampir terwujud. Â Perkara ibu kelak merajuk dan sakit hati, itu adalah resiko kecil.
Tapi harapanku buyar manakala Mbem Mama menemuiku di kamar sehari menjelang keberangkatan kami ke Jakarta. Katanya ibu tiba-tiba tak enak badan. Ibu memutuskan tak akan ikut bersamaku ke rumah Mamat di Jakarta.
Segera aku menemui ibu di kamarnya.
"Kenapa, Bu? Ibu sakit?" Kulihat dia berselimut. Mendengar suaraku, dia menurunkan selimut sebatas perut. Matanya terbuka perlahan. Sayu. Lalu selempar senyuman dia berikan kepadaku.
"Sepertinya ibu tak akan bisa ikut ke rumah Mamat di Jakarta. Nanti kalau ibu sakit parah dalam perjalanan, bagaimana?" Ibu duduk seperti hendak muntah. Bergegas kuambil pispot yang memang selalu ada di kolong tempat tidurnya. Tapi dia tak jadi muntah. Dia hanya memintaku mengambilkan air teh hangat di atas meja rias.
"Tapi, kami juga tak akan bisa membiarkan ibu sakit begini. Kepulangan kami harus ditangguhkan," kataku.
"Tak apalah! Ibu sudah berobat kok ke Mantri Samin. Kalian pulanglah kalau mau pulang. Nanti pekerjaan kalian terbengkalai di negeri orang."
Aku menemui Cek Hamid yang sedang asyik merokok di teras rumah. Kuutarakan tentang ibu yang sedang sakit, sehingga dia terlonjak. Begitu kuanjurkan agar menangguhkan kepulangan kami ke Malaysia beberapa hari, dia langsung menolak halus. Bosnya sudah menelepon bahwa dia harus sudah harus bekerja tiga hari ke depan. Berarti... ah...
Tapi saat kami hampir berangkat menuju Medan, selanjutnya ke Jakarta, ibu tiba-tiba segar bugar. Wajahnya cerah dan basah bekas mengambil air wudhuk. Dia mencium pipi Ito, mencium keningku dan menyalami Cek Hamid. Dia sangat gagah mengantar kepergian kami.
"Hahaha! Ibu hanya mengerjai kalian. Ibu hanya pura-pura sakit biar tak jadi diajak ke Jakarta," katanya membongkar rahasianya.
Aku melotot. "Yang benar, Bu. Aku takut sekarang ibu hanya berpura-pura sehat," sindirku. Dia tertawa lagi.