Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - Menebus bait

Karyawan swasta dan penulis. Menulis sejak 1989 sampai sekarang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kan Kutulis Namamu di Relung Hati

10 Maret 2020   21:55 Diperbarui: 10 Maret 2020   22:26 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

Setiap tanggal 9 Maret kita merayakan Hari Musik Nasional. Itu kita lakukan sejak tiga tahun lalu.  Lirih suara saksofonmu membuat hati tersayat, melenakanku ke negeri antah.  Rahang tegasmu membuatku ingin mengelusnya. Tatapmu seumpama mata elang, menerkamku hingga remah. Duh, aku rindu!

Andainya aku dapat memilikimu. Namun sepertinya itu tak mungkin. Aku hanya bisa mengiringi suara saksofonmu dengan senandung pelan hingga titik akhir. Kau menyeka keringat puas, turun dari panggung ibarat pangeran. Kau mengedipkan mata, duduk di sebelahku, bertanya tentang permainanmu. Aku menjawab masih seperti dulu. Tetap menawan.

"Gombal!" Kau memukul bahuku.

"Hahaha! Sudah tahu aku penggombal."

01 Maret 2019

"Hai, sendirian saja?" sapamu waktu itu. Aku sedang menyepi di perpustakaan, perlahan  menyuruhmu  diam. Suaramu memelan, amat pelan. "Bagaimana tentang itu?"

"Apanya?" bisikku. Penjaga perpustakaan melotot. Dilarang ribut di sini!

"Tentang pertanyaanku. Hubungan kita."

Aku mengeluh, teringat malam itu di bawah purnama, kita berdua menikmati desah sungai. Kau pelan  menyentuh bahuku. "Aku sekian kali ingin bertanya, apakah kamu mau menerima cintaku?"

Aku tertawa, memukul lenganmu. Kita sepakat dari dulu tak ingin persahabatan kita dikotori yang namanya cinta. Sahabat itu lebih kekal. Manakala cinta mengotori, tak jarang berakhir benci. Betapa banyak orang mengalaminya. Berawal sahabat, beralih cinta, menjelma benci. Sungguh, aku tak ingin kehilangan dirimu.

Akan janggal ketika kita tak lagi sepasang sahabat. Kau mulai sibuk mengurusi tubuhku yang ceking, kaos lusuh dan jins belel. Juga bibirku yang pucat. Bedakku yang tak rata. Aku tak bisa cantik! Bukankah kalimat cantik itu luka berasal dari mulutmu. Entah darimana kau comot.

Tak mungkin lagi aku memukulmu seenaknya. Kentut sembarangan tanpa malu. Atau membuat lelucon yang berkesan garing. Makan dengan tangan telanjang. Fuh! Aku mesti bersikap anggun seperti  seekor angsa. Aku tak bisa. Karena aku bukan seekor angsa!

Sekali lagi jawabanku tetap sama. "Aku tak ingin persahabatan kita renggang." Hanya itu.

"Tapi aku amat mencintaimu. Seutuhnya tanpa embel-embel. Aku suka kau apa adanya, orisnil."

"Ha! Emang yang lain palsu? Makan tuh cinta!" Kali itu aku memukulmu lumayan keras. Penjaga perputakaan bertambah melotot. Kita bergegas menghindari amuknya.

05 Maret 2019

Kafe itu sepi tanpamu. Sudah  lima hari ponselmu tak aktif. Kau tak pernah ada di kampus. Aku juga mencarimu di perpustakaan. Hasilnya nol besar. Aku bertanya pada pelayan kafe tentang dirimu. Jawaban  darinya meresahkan. Sudah dua hari kau absen. Aha, ataukah kau?

Ternyata aku tak salah. Aku menemukanmu terlihat begitu kusut di gudang tua tempatmu menyepi bersama saksofon. Kau melirikku sekejap, dan kembali memejamkan mata. Kau tak menghiraukan kehadiranku. Kamu sibuk sendiri. Menyuruh duduk saja tak. Apalagi sampai menawarkan minum.

"Dan!" Aku agak geram. "Mardan!"

"Eh, seperti ada suara..."

"Ini aku! Bukan hantu!"

"O, kau. Aku sudah tahu!" Kau meletakkan saks0fon. Mengambil dua botol minuman,  melemparku satu. Kau mulai menceracau tentang cinta dan cinta. Aku  menanyakan kita akan ke mana merayakan Hari Musik Nasional. "Kau mau ke mana?" Kau balas bertanya.

"Kalau di kafe biasa, sepertinya kurang asyik."

"Ini yang tak biasa. Aku akan manggung di kampus." Matamu bercahaya. Ternyata itulah sebabnya kau menghilang. Tampil di kampus memang perlu nilai plus. Kau tak ingin terlihat kedodoran.

Kau kembali menanyakan jawaban atas cintamu. Aku pura-pura tak mendengar. Aku meniup saksofon. Terdengar fals. Aku mengajuk minta diajari. Kau menggerutu, susah mengajari gadis keras kepala.

Dan aku tetap tak mampu bermain musik. Aku hanya bisa menikmati permainanmu di antara teriakan histeris para gadis.

Waktu itu tanggal 09 Maret 2019. Ah, andainya aku bisa memilih. Tapi tak bisa. Dan pasti tak sanggup. Aku mungkin ditakdirkan hanya mencintai, tapi tidak untuk memilikimu.

10 Maret 2019

"Bagaimana, San?" Dia mengucek-ngucek rambutku, duduk di bibir tempat tidur. Aku berbalik memunggunginya. Sebuah novel cinta telah memaku hasratku dari dini hari tadi. Pun sekadar berbincang dengan Ambar. Tentang mimpi-mimpinya ingin bermain saksefon. Minta diajari dirimu. Ujung-ujungnya ingin memilikimu.

Apa dong yang bisa kulakukan? Merelakan cintaku diambil orang lain?

Hampir tiga bulan Ambar memintaku mengungkapkannya. Tapi tetap kuulur dengan berbagai macam alasan. Pagi ini mungkin puncaknya, Ambar kesal kepadaku.

Aku tetiba terbayang rumah besar bercat putih. Bunga bugenvil penuh di halaman depan. Senja hari  kanak-kanak bermain mengejar rama-rama. Tentu bukan saat itu, ketika hujan baru saja reda, rama-rama masih bersimpuh di peraduan. Hanya capung terbang seirama. Mematuk genangan. 

Aku ingin menangkapnya satu, akan dipajang di kamar menjelang aku tidur  malam. Namun teringat Mamaden, aku lekas mengurungkan niat itu. Katanya rama-rama dan capung hanya boleh dinikmati keindahannya, bukan untuk dimiliki. Apalagi dijadikan mainan dan terbiar mati.

Saat aku ingin memetik bunga bugenvil, lalu menyematkan di sela telinga, sebuah mobil biru metalik berhenti di depan gerbang. Ada perempuan cantik dan lelaki tampan, keluar dari dalam mobil itu. Seorang anak perempuan seumuranku menyusul. Dia cantik, tak urakan seperti aku. Ayah-ibunya lengkap, sementara aku yatim-piatu.

Aku kemudian melupakannya karena Sonya mengajak bermain masak-masakan. Tapi beberapa saat kemudian Mamaden memanggilku berkenalan dengan anak perempuan itu. Oya, namanya Ambar.

Perempuan cantik itu bernama Viola, dan lelaki tampan itu Hansen. Mereka sedang mencari teman bermain Ambar, dan teman yang terpilih itu adalah aku.

Pelan-pelan aku mulai merasakan hidup nyaman bersama orang kaya. Tapi tidak dengan Ambar. Dia kerap membuatku resah. Awalnya kami memang selalu bermain bersama seakan tak pernah bermusuhan. Lambat laun aku mulai paham. 

Dia itu perempuan pencemburu. Apa pun yang kusuka, dia berusaha untuk memilikinya. Jika ayah-ibunya sanggup mewujudkannya, tentu saja tidak masalah. Tapi bagaimana kalau sesuatu itu hanya ada satu di dunia ini? Ya, Aku mesti mengalah. Dialah pemiliki orangtua kaya, bukan aku.

Bagaimana denganmu, Mardan? Mestikah aku juga menyerahkanmu? Haruskah aku membunuh rasa ini? Maafkan aku, inilah yang menyebabkan aku seperti burung kutilang, melompat ke sana-ke mari, demi menghindari cintamu. Apalagi... lihat mata Ambar? Apakah kau tega melihat mata itu menghadirkan hujan?

Jujur, aku tak ingin hujan di luar rumah, turun di matanya. Dia terlalu sering menangisi hidupnya yang tak lepas dari jarum suntik dan obat-obatan. Dan rumah sakit. Kau pasti sudah tahu kalau Ambar mengidap penyakit kanker darah. Bagaimana ketika aku mengatakan dia juga mencintamu, Mardan?

“Baiklah!”

“Benar?” Mata Ambar bersinar seperti mata kelinci.

“Ya,” jawabku dengan berat. “Aku janji akan ingat pesanmu. Kau mencintai Mardan setulus hati. Hanya itu, kan?”

Kau mengangguk, memelukku. Aku menangis. Hatiku remuk-redam.

09 Maret 2020

Setiap tanggal 9 Maret kita merayakan Hari Musik Nasional. Dan kini aku hanya bisa menikmati alunan saksofonmu dengan hati remuk-redam. Aku melihatmu amat menjiwai permainanmu melebihi yang sudah, setelah ada Ambar ada di sebelahmu, meliukkan suara biola. 

Kalian memang sepasang musikus yang apik. Akan janggal kalau kita yang jadian, Mardan. Aku hanya bisa menjadi penikmat musik, bukan sebagai musikus. Tapi tidak dengan Ambar. Kalian bisa saling mengisi. Denganku, yakinlah kita akan terlihat jomplang.

Tepuk riuh penonton semakin meriah. Lampu sorot menyambar kalian berdua. Lalu, betapa memalukan, lampu sorot mengarah tepat di tempat dudukku. Apakah acara konser musik ini ingin mempermalukanku?

Samar kulihat kau turun dari panggung. Ambar menyusul. Para penonton terpana. Ambar perlahan menautkan tanganku dengan tanganmu. Musik tetiba berhenti.

“Selama ini aku selalu berusaha memiliki segala sesuatu seperti yang kau miliki. Bahkan jika hanya ada satu di dunia, aku akan merebutnya. Tapi tidak dengan  Mardan. Maafkan kami telah bersandiwara di depanmu selama ini. Matamu tak bisa berdusta semahir mulutmu. Hanya kau yang bisa membahagiakan Mardan.” Dia tertunduk.

“Ambar!” Aku salah tingkah. Aku merasa bersalah.

“Kau tahu penyakitku. Sewaktu-waktu tangan maut  akan membawaku pergi. Tapi tidak denganmu.”

“Ini mustahil, Ambar!  Panjang-pendeknya usia tak bisa diukur dengan penyakit. Tapi...”

“Husss!” Ambar menutup mulutku dengan jari telunjuknya. Dan malam pun turun semakin dalam.

10-03-2020

---sekian---

Tim Lintas Jawa-Sumatera


Rifan Nazhip

Ummu el Hakim

Zahrotul Mujahidah

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun