Saat aku ingin memetik bunga bugenvil, lalu menyematkan di sela telinga, sebuah mobil biru metalik berhenti di depan gerbang. Ada perempuan cantik dan lelaki tampan, keluar dari dalam mobil itu. Seorang anak perempuan seumuranku menyusul. Dia cantik, tak urakan seperti aku. Ayah-ibunya lengkap, sementara aku yatim-piatu.
Aku kemudian melupakannya karena Sonya mengajak bermain masak-masakan. Tapi beberapa saat kemudian Mamaden memanggilku berkenalan dengan anak perempuan itu. Oya, namanya Ambar.
Perempuan cantik itu bernama Viola, dan lelaki tampan itu Hansen. Mereka sedang mencari teman bermain Ambar, dan teman yang terpilih itu adalah aku.
Pelan-pelan aku mulai merasakan hidup nyaman bersama orang kaya. Tapi tidak dengan Ambar. Dia kerap membuatku resah. Awalnya kami memang selalu bermain bersama seakan tak pernah bermusuhan. Lambat laun aku mulai paham.
Dia itu perempuan pencemburu. Apa pun yang kusuka, dia berusaha untuk memilikinya. Jika ayah-ibunya sanggup mewujudkannya, tentu saja tidak masalah. Tapi bagaimana kalau sesuatu itu hanya ada satu di dunia ini? Ya, Aku mesti mengalah. Dialah pemiliki orangtua kaya, bukan aku.
Bagaimana denganmu, Mardan? Mestikah aku juga menyerahkanmu? Haruskah aku membunuh rasa ini? Maafkan aku, inilah yang menyebabkan aku seperti burung kutilang, melompat ke sana-ke mari, demi menghindari cintamu. Apalagi... lihat mata Ambar? Apakah kau tega melihat mata itu menghadirkan hujan?
Jujur, aku tak ingin hujan di luar rumah, turun di matanya. Dia terlalu sering menangisi hidupnya yang tak lepas dari jarum suntik dan obat-obatan. Dan rumah sakit. Kau pasti sudah tahu kalau Ambar mengidap penyakit kanker darah. Bagaimana ketika aku mengatakan dia juga mencintamu, Mardan?
“Baiklah!”
“Benar?” Mata Ambar bersinar seperti mata kelinci.
“Ya,” jawabku dengan berat. “Aku janji akan ingat pesanmu. Kau mencintai Mardan setulus hati. Hanya itu, kan?”
Kau mengangguk, memelukku. Aku menangis. Hatiku remuk-redam.