Tak mungkin lagi aku memukulmu seenaknya. Kentut sembarangan tanpa malu. Atau membuat lelucon yang berkesan garing. Makan dengan tangan telanjang. Fuh! Aku mesti bersikap anggun seperti  seekor angsa. Aku tak bisa. Karena aku bukan seekor angsa!
Sekali lagi jawabanku tetap sama. "Aku tak ingin persahabatan kita renggang." Hanya itu.
"Tapi aku amat mencintaimu. Seutuhnya tanpa embel-embel. Aku suka kau apa adanya, orisnil."
"Ha! Emang yang lain palsu? Makan tuh cinta!" Kali itu aku memukulmu lumayan keras. Penjaga perputakaan bertambah melotot. Kita bergegas menghindari amuknya.
05 Maret 2019
Kafe itu sepi tanpamu. Sudah  lima hari ponselmu tak aktif. Kau tak pernah ada di kampus. Aku juga mencarimu di perpustakaan. Hasilnya nol besar. Aku bertanya pada pelayan kafe tentang dirimu. Jawaban  darinya meresahkan. Sudah dua hari kau absen. Aha, ataukah kau?
Ternyata aku tak salah. Aku menemukanmu terlihat begitu kusut di gudang tua tempatmu menyepi bersama saksofon. Kau melirikku sekejap, dan kembali memejamkan mata. Kau tak menghiraukan kehadiranku. Kamu sibuk sendiri. Menyuruh duduk saja tak. Apalagi sampai menawarkan minum.
"Dan!" Aku agak geram. "Mardan!"
"Eh, seperti ada suara..."
"Ini aku! Bukan hantu!"
"O, kau. Aku sudah tahu!" Kau meletakkan saks0fon. Mengambil dua botol minuman,  melemparku satu. Kau mulai menceracau tentang cinta dan cinta. Aku  menanyakan kita akan ke mana merayakan Hari Musik Nasional. "Kau mau ke mana?" Kau balas bertanya.