"Kalau di kafe biasa, sepertinya kurang asyik."
"Ini yang tak biasa. Aku akan manggung di kampus." Matamu bercahaya. Ternyata itulah sebabnya kau menghilang. Tampil di kampus memang perlu nilai plus. Kau tak ingin terlihat kedodoran.
Kau kembali menanyakan jawaban atas cintamu. Aku pura-pura tak mendengar. Aku meniup saksofon. Terdengar fals. Aku mengajuk minta diajari. Kau menggerutu, susah mengajari gadis keras kepala.
Dan aku tetap tak mampu bermain musik. Aku hanya bisa menikmati permainanmu di antara teriakan histeris para gadis.
Waktu itu tanggal 09 Maret 2019. Ah, andainya aku bisa memilih. Tapi tak bisa. Dan pasti tak sanggup. Aku mungkin ditakdirkan hanya mencintai, tapi tidak untuk memilikimu.
10 Maret 2019
"Bagaimana, San?" Dia mengucek-ngucek rambutku, duduk di bibir tempat tidur. Aku berbalik memunggunginya. Sebuah novel cinta telah memaku hasratku dari dini hari tadi. Pun sekadar berbincang dengan Ambar. Tentang mimpi-mimpinya ingin bermain saksefon. Minta diajari dirimu. Ujung-ujungnya ingin memilikimu.
Apa dong yang bisa kulakukan? Merelakan cintaku diambil orang lain?
Hampir tiga bulan Ambar memintaku mengungkapkannya. Tapi tetap kuulur dengan berbagai macam alasan. Pagi ini mungkin puncaknya, Ambar kesal kepadaku.
Aku tetiba terbayang rumah besar bercat putih. Bunga bugenvil penuh di halaman depan. Senja hari  kanak-kanak bermain mengejar rama-rama. Tentu bukan saat itu, ketika hujan baru saja reda, rama-rama masih bersimpuh di peraduan. Hanya capung terbang seirama. Mematuk genangan.Â
Aku ingin menangkapnya satu, akan dipajang di kamar menjelang aku tidur  malam. Namun teringat Mamaden, aku lekas mengurungkan niat itu. Katanya rama-rama dan capung hanya boleh dinikmati keindahannya, bukan untuk dimiliki. Apalagi dijadikan mainan dan terbiar mati.