Hatiku bertambah terenyuh ketika melihat Om Saf dan Tante Gin tak bisa menahan kesedihkan. Mereka berpelukan. Berharap dengan pelukan, luka itu bisa disembuhkan.Tapi tetap saja ada ratapan menyela hening.Â
Masih banyak cita-citamu. Membukukan puisi-puisi. Melanglang dunia. Ingin sembuh dari penyakit kanker yang melahap hampir seluruh masa mudamu.Â
Tunas yang gagal untuk menjadi batang, menjadi daun, menjadi buah. Ketika kecambah digerus hujan deras yang tumbuh di mataku. Dan aku tak sanggup itu. Sangat tak sanggup, Dei!
Aku hanya bisa terpaku di basecamp, meratapi kepergiannmu. "Jangan bersedih terus, Amar," tegur Binhard.
"Tapi Dei telah meninggalkanku, Bin."
"Dia tak hanya meninggalkanmu seorang, Amar. Tapi kita semua." Binhard memukul pelan dinding. "Kalau kau masih begini, Dei akan sedih. Ayolah, ini waktu kita konser. Tersisa tiga jam lagi. Kau ingin dia meratapi kelemahanmu?"
Meski aku masih ingin terus meratapi kepergianmu, tapi hidupku di atas panggung hiburan. Aku memetik gitar dengan kabut air mata. Penonton  bak bayang-bayang semu. Aku melantunkan puisimu dengan suara serak. Dia antara tepuk-riuh pentonton, aku seolah melihatmu duduk di bangku belakang. Kau bertepuk tangan, berulangkali bertepuk tangan.
Tahukah kau, saat Om Saf menyerahkan selembar surat darimu selepas konser itu, tulang-tulangku seolah setumpukan otot lemah. Lunglai.
Hai, Amarku yang terkasih.
Saat kau membaca surat ini, kita sudah dipisahkan oleh dua alam. Kau tahu, meski pun aku selalu menolak cintamu, tapi  sejujurnya aku sangat mencintaimu. Aku  sangat takut kehilanganmu. Maka itu, seluruh pemberianmu tetap kurawat. Kau ingat coklat valentine tiga tahun lalu? Maaf, ini mungkin sudah kadaluwarsa. Sebagian sudah lumer dan ada yang rompal dimakan semut. Aku salah tidak meletakkannya di lemari es. Tapi yakinlah, cintaku tak akan kadaluwarsa dan tetap utuh untukmu.
Juga kue tart  ulang tahunku masih ada, Amar, meski tak utuh. Ayah tak sengaja memotongnya. Maafkan dia, ya? Dia sama sekali tak tahu, bahwa perbuatannya membuatku terluka.