Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - Menebus bait

Karyawan swasta dan penulis. Menulis sejak 1989 sampai sekarang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Lagu Terakhir untuk Seorang Dei

2 Maret 2020   11:41 Diperbarui: 2 Maret 2020   11:59 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hatiku bertambah terenyuh ketika melihat Om Saf dan Tante Gin tak bisa menahan kesedihkan. Mereka berpelukan. Berharap dengan pelukan, luka itu bisa disembuhkan.Tapi tetap saja ada ratapan menyela hening. 

Masih banyak cita-citamu. Membukukan puisi-puisi. Melanglang dunia. Ingin sembuh dari penyakit kanker yang melahap hampir seluruh masa mudamu. 

Tunas yang gagal untuk menjadi batang, menjadi daun, menjadi buah. Ketika kecambah digerus hujan deras yang tumbuh di mataku. Dan aku tak sanggup itu. Sangat tak sanggup, Dei!

Aku hanya bisa terpaku di basecamp, meratapi kepergiannmu. "Jangan bersedih terus, Amar," tegur Binhard.

"Tapi Dei telah meninggalkanku, Bin."

"Dia tak hanya meninggalkanmu seorang, Amar. Tapi kita semua." Binhard memukul pelan dinding. "Kalau kau masih begini, Dei akan sedih. Ayolah, ini waktu kita konser. Tersisa tiga jam lagi. Kau ingin dia meratapi kelemahanmu?"

Meski aku masih ingin terus meratapi kepergianmu, tapi hidupku di atas panggung hiburan. Aku memetik gitar dengan kabut air mata. Penonton  bak bayang-bayang semu. Aku melantunkan puisimu dengan suara serak. Dia antara tepuk-riuh pentonton, aku seolah melihatmu duduk di bangku belakang. Kau bertepuk tangan, berulangkali bertepuk tangan.

Tahukah kau, saat Om Saf menyerahkan selembar surat darimu selepas konser itu, tulang-tulangku seolah setumpukan otot lemah. Lunglai.

Hai, Amarku yang terkasih.

Saat kau membaca surat ini, kita sudah dipisahkan oleh dua alam. Kau tahu, meski pun aku selalu menolak cintamu, tapi  sejujurnya aku sangat mencintaimu. Aku  sangat takut kehilanganmu. Maka itu, seluruh pemberianmu tetap kurawat. Kau ingat coklat valentine tiga tahun lalu? Maaf, ini mungkin sudah kadaluwarsa. Sebagian sudah lumer dan ada yang rompal dimakan semut. Aku salah tidak meletakkannya di lemari es. Tapi yakinlah, cintaku tak akan kadaluwarsa dan tetap utuh untukmu.

Juga kue tart  ulang tahunku masih ada, Amar, meski tak utuh. Ayah tak sengaja memotongnya. Maafkan dia, ya? Dia sama sekali tak tahu, bahwa perbuatannya membuatku terluka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun