"Aku? Amar, kau jangan ngaco!"
"Ya, matamu. Bintang kejora itu tumbuh di sana."
"Jangan bilang kau jatuh cinta lagi."
Aku berusaha berlagak gila, menghitung helai demi helai rambutmu. Kau duduk perlahan sambil memeluk dua belah lutut. Aku pun menuruti, pelan-pelan merengkuh bahumu. Kau menepisnya, berdiri dan berlari seperti bangau siap terbang.Â
"Aku jatuh cinta kepadamu. Akan terus jatuh cinta. Sampai kapan pun!" Aku tak perduli kau mendengar teriakanku atau tidak. Tapi aku yakin, kau merasakan denyar cinta itu, dengan tanda  kerdip bintang di atas sana.
"Meskipun aku menolakmu?" Akhirnya kau berhenti. Membiarkanku mendekat.
"Ya, mesti!"
"Kau itu pungguk!"
"Dan kau rembulanku."
Aku terus ingat kisah demi kisah kita. Bahkan setelah kau menuntaskan musikalisasai puisi itu. Bahkan hingga aku menyanyikan lagu pamungkas yang tetap berusaha kau nikmati, meski godaan ngantuk begitu berat.
Setelah itu kita singgah di kafe tempat biasa nongkrong. Pagelaran musik berakhir sukses. Musikalisasi puisi mendapat applaus. Teman-teman yang ikut nongkrong bersama kita, mengusulkan agar puisimu dijadikan lirik lagu. Mereka yakin itu akan viral.