Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - Menebus bait

Karyawan swasta dan penulis. Menulis sejak 1989 sampai sekarang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Lagu Terakhir untuk Seorang Dei

2 Maret 2020   11:41 Diperbarui: 2 Maret 2020   11:59 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tunas yang gagal untuk menjadi batang, menjadi daun, menjadi buah. Ketika kecambah digerus hujan deras yang tumbuh di mataku. Dan aku tak sanggup itu. Sangat tak sanggup, Dei!

Setiap tanggal 9 Maret kita merayakan Hari Musik Nasional di gedung itu. Melihat wajah ceriamu, berpipi merah dadu. Menatap girah sebentuk mata bulat, saat petikan gitarku mengalun, mengiringi  musikalisai puisi yang kau lantunkan. Puisi dari dasar jiwa seorang romantis. Kau tahu, aku begitu terpukau, sama seperti penonton yang mengira dirimu putri yang baru turun dari kahyangan. Berbalut gaun putih bermotif kembang jasmine.

Tapi aku tahu, di balik puisimu yang memukau, tersirat larik-larik luka. Kau pendam amat rapat. Rahasia pribadi, bahkan berbagi untukku juga tak.  Manakala lusinan obat  hanya memperpanjang pedih, dan rutinitas  rumah sakit memuntahkan mual, membosanka!  Pun saling-saling sulur menghisap sekujur tangan dan kakimu, silih berganti membentuk birem dan bekas tusukan suntik.

 Matamu bertambah cekung, meski berhasil disamarkan  pipi merah dadu. Girah di mata. Ah, perempuan manisku yang paling kuat sejagat. Salahkah aku menitipkan cinta ke dalam hatimu yang belum berpenghuni itu?

Kau sering bercerita manakala  purnama pecah di halaman rumahmu yang berumput halus. Kita rebahan, menatap bintang-gemintang di atas sana. Kau coba hitung satu demi satu. Matamu berair. Kau tertawa. Pekerjaan terbodoh di dunia, menghitung bintang yang tak memiliki batas. Tapi aku ingin jujur, hanya satu bintang yang paling pendar dan indah. Bintang kejora yang menjejak matamu. Bila saja aku berhasil memetik dan menyimpannya dalam dadaku yang paling dasar. Ah!

 "Kenapa menatapku seperti itu?" Kau memukul bahuku. Ada balasan mendarat di pucuk hidungmu, sebuah cubitan manja.

Dei, sungguh bunga-bunga cinta itu tetap bermekaran. Akan terus  mekar, berharap kau akan menyiraminya. Memupuknya. "Jangan bilang kau jatuh cinta kepadaku untuk kesekian kalinya," lanjutmu. 

Aku tertawa, mencoba mengalihkan pembicaraan, "Bintang-bintang yang sangat indah." Aku berlagak gila menghitung mereka satu demi satu.

 "Kamu benar, bintang-bintang  indah. Tapi bintang mana yang paling indah menurutmu?"

"Tentu saja kamu!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun