"Berarti kau tak mencintaku?" Aku terdiam sejenak. Pelayan mengantarkan pesananmu  yang terakhir, setangkup roti. Angin malam membuatmu lapar.
"Aku tak bilang begitu!"
"Dokter kau percaya? Dei, dia itu bukan Tuhan." Kau membisu. Tertunduk sedih. Aku tak ingin gerimis yang mulai turun di luar, akan menderas, masuk di dalam kafe, jatuh dari mata bulatmu. Aku tak ingin itu. Sangat tak ingin! Sebab itu aku mengalihkan pembicaraan. "Aku akan menjadikan puisimu menjadi syair lagu."
"Sungguh?" Girah itu kembali menyala.
"Sungguh! Apa ada tampangku menjadi seorang pembohong?"
"Janji!"
"Yakinlah, Dei. Dari dulu aku selalu menepati janji."
"Aku sangat setuju!"
"Itu baru gadis.... Ups, salah. Kau memang hebat, Dei." Kuremas punggung tangannmu. "Ayok, ah, kita minggat, sebelum kafe ini benar-benar menendang kita."
***
Teman-teman mengacungkan jempol ketika lagu itu selesai kunyanyikan. Walaupun ada sedikit melodi yang fals, menurut mereka itu amazing. Puisimu memang memukau. Ibarat santan, bisa dipadukan untuk semua makanan, maka puisimu juga demikian.