Bisakah? Kukatakan apa saja bisa, apalagi kau terima cintaku. Uh, tak akan! Kau memukul lenganku. Teman-teman tertawa. Kita memang pasangan yang cocok.
Namun dari dulu kau tak menerima cintaku. Sampai kapan pun! Apakah aku jelek?
Aku pernah bertanya kepada cermin, apakah aku jelek? Dia menjawab, di atas rata-rata. Â Mungkinkah di atas rata-rata jelek? Tentu saja tidak. Tapi di atas rata-rata tampan, Â plus manis dan imut-imut seperti gulali. Kalau tak seperti itu, mana mungkin ada Via, Mar, Sesi, Tiar, do, re, mi, pa so, la, si do. Berjejer, bersusun paku, mengharap cintaku.
"Sombong!" celutukmu menyadari penyakit sombongku kambuh.
Satu demi satu teman kita undur diri. Tinggal kita berdua duduk di meja sudut. Menunggu jam menunjukkan pukul dua belas malam, waktu tepat bagi  kafe mengusir kita.
Wajahmu yang ceria perlahan redup. Girah di mata itu lindap. Aku merasakan semangatmu dingin. Beku. Detak jantung itu melambat. Dari balik cangkir kopi, aku yakin kau mulai merasa sendiri. Percayalah, Dei, kau tak akan pernah sendiri. Aku akan terus bersamamu. Mencintaimu. Selalu.
"Aku terkadang ingin menyerah, Amar!" Akhirnya kau kembali pada luka itu.
Jujur, aku tak ingin melihatmu lemah. Selama ini kau telah menjadi inspirasiku menciptakan beragam syair lagu. Jangan katakan lagi itu, Dei!
"Kau tak boleh mencintaiku, Amar. Masih banyak perempuan di luar sana yang memiliki umur panjang. Sementara aku, meski tak tahu kapan tangan maut itu menjemput, tapi dia semakin dekat. Aku tak ingin cintamu kandas begitu cepat," lanjutmu.
"Jangan berkata begitu, Dei."
"Dokter bilang umurku hanya satu-dua tahun lagi. Kau sanggup tak akan kecewa?"