Mohon tunggu...
Sangria Razan
Sangria Razan Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis dengan Hati

Sebagai seseorang yang ingin belajar dan memahami batasan serta perspektif yang benar, saya sangat berharap mendapatkan bimbingan dan pandangan yang lebih bijak dalam menyikapi pengalaman seperti ini, agar tetap sejalan dengan prinsip-prinsip yang saya anut.

Selanjutnya

Tutup

Horor

Pathok pethuk "Part 2"

6 Januari 2025   10:40 Diperbarui: 6 Januari 2025   10:43 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Horor. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Mystic Art Design

Bagaimana aku bisa melanjutkan hidup dengan semua ini? Bisakah aku memahami apa yang sebenarnya terjadi padaku? Atau akankah aku terus dibayangi oleh keanehan ini, terjebak antara dunia nyata dan dunia yang tak semua orang bisa melihatnya?

Malam-malamku di kamar baru itu selalu diwarnai keanehan. Setiap kali aku mencoba memejamkan mata, sesuatu terasa tak beres. Lorong panjang di luar pintu kamarku seperti hidup, seakan-akan menyimpan rahasia yang tak pernah ingin kubongkar. Suara-suara aneh, bisikan lirih, dan bayangan-bayangan gelap sering kali muncul, membuatku enggan meninggalkan kamar atau bahkan sekadar menatap keluar pintu.

Aku tak punya pilihan selain menerima mereka. Sosok-sosok tak kasatmata itu telah menjadi bagian dari hidupku, teman-teman yang tak pernah kupilih dan tak pernah kuinginkan. Mereka datang dan pergi sesuka hati, tak peduli betapa takutnya aku. Tak peduli betapa aku hanya ingin tidur dengan tenang, seperti anak-anak lainnya.

Orang tuaku, yang tengah menghadapi kesulitan besar akibat kebangkrutan rumah makan, tak punya waktu untuk memahami apa yang kualami. Mereka selalu berkata, "Kamu harus belajar mandiri. Kamu anak yang pintar, pasti bisa." Tapi kenyataannya, aku tidak bisa. Aku hanya anak kecil yang terlalu takut pada bayangannya sendiri. Aku ingin memberitahu mereka, memohon mereka untuk percaya, tapi setiap kali aku mencoba, kata-kataku selalu terhenti di tenggorokan.

Kehidupan di desa ini jauh dari apa yang kukenal. Aku tidak bisa beradaptasi, tidak bisa merasa nyaman. Setiap hari, aku lebih banyak mengurung diri di kamar, berusaha melarikan diri dari dunia yang terasa semakin asing. Aku bukan anak yang ceria seperti dulu. Aku bukan lagi anak yang penuh percaya diri.

Doa menjadi satu-satunya pelarian bagiku. Setiap malam, aku menggenggam tasbih nenekku erat-erat, berdoa sebisaku. Aku memohon perlindungan, memohon keberanian, memohon agar semua ini berakhir. Tapi keanehan itu tidak pernah berhenti. Malah semakin sering terjadi, seolah-olah mereka tahu bahwa aku tak bisa melawan.

Aku sering menangis dalam diam, terisak pelan agar tidak terdengar oleh siapa pun. Aku tahu, tidak ada yang akan mengerti. Bahkan aku sendiri tidak mengerti. Kenapa aku harus melalui semua ini? Apa salahku?

Yang paling menyakitkan adalah kesepian. Aku merasa sendirian, bahkan di tengah keluargaku sendiri. Kakek dan nenekku, meski sangat menyayangiku, sering kali hanya berkata, "Sudah biasa. Jangan terlalu dipikirkan." Tapi bagaimana aku bisa tidak memikirkannya, ketika malam-malamku dipenuhi ketakutan yang tak pernah berhenti?

Aku ingat suatu malam, suara langkah kaki dari lorong terdengar begitu nyata. Mereka mendekat, semakin dekat, hingga terasa seperti berhenti tepat di depan pintu kamarku. Aku menahan napas, tubuhku gemetar di balik selimut. Aku tahu, tak ada seorang pun di rumah yang bangun. Itu bukan langkah manusia.

Aku tidak tahu bagaimana aku bisa melewati malam-malam seperti itu. Aku hanya tahu bahwa aku terus bertahan, meskipun hatiku dipenuhi ketakutan dan rasa iba pada diriku sendiri. Aku sering berpikir, apakah ada anak lain di dunia ini yang merasakan apa yang kurasakan? Ataukah aku memang ditakdirkan untuk menghadapi semuanya sendirian?

Malam-malam itu, lorong panjang di luar pintuku bukan hanya lorong biasa. Ia adalah pengingat bahwa aku berbeda, bahwa aku harus menghadapi hal-hal yang tak kasatmata sendirian. Dan setiap kali pagi tiba, aku merasa sedikit lebih kecil, sedikit lebih rapuh, seperti potongan diriku hilang setiap malamnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun