Malam pertama di kamar baruku terasa berbeda. Awalnya, aku mencoba mengabaikan perasaan aneh yang kerap muncul di rumah ini. Aku meyakinkan diriku bahwa semua ini hanyalah adaptasi dari lingkungan baru. Namun, ketika malam semakin larut dan suasana rumah menjadi sunyi, suara-suara kecil mulai terdengar. Kadang seperti langkah kaki dari lorong besar, kadang seperti bisikan yang samar.
Aku terbangun di tengah malam, dan angin yang entah dari mana masuk ke dalam kamar membuat pintu kayu sementara itu bergeser perlahan. Aku terdiam, tubuhku kaku. Aku memandang ke arah pintu yang terbuka setengah, berharap angin akan mendorongnya tertutup kembali. Tapi tidak. Sebaliknya, pintu itu justru terbuka lebih lebar, menampakkan lorong panjang di luar yang sekarang tampak lebih gelap dari biasanya.
Di ujung lorong, aku melihat sesuatu yang membuat jantungku hampir berhenti. Ada bayangan samar, berdiri tegak, tak bergerak sedikit pun. Aku ingin berpikir itu hanyalah bayangan dari cahaya bulan yang masuk melalui jendela, tetapi tidak ada cahaya yang cukup untuk menciptakan bayangan sebesar itu.
Aku menarik selimutku hingga menutupi seluruh tubuh, mencoba menenangkan diriku. Dalam hati, aku terus mengulang doa, berharap apapun itu tidak mendekat. Suara langkah kaki kecil mulai terdengar, seolah mendekat ke arah pintu kamarku.
 Ketika akhirnya aku memberanikan diri untuk mengintip dari balik selimut, bayangan itu sudah tidak ada. Namun, pintu kayu sementara itu kini benar-benar terbuka lebar, dan aku bisa merasakan hawa dingin dari lorong yang seperti menyentuh kulitku.
Keesokan paginya, aku mencoba menceritakan sedikit pengalaman itu pada nenek. Tapi nenek hanya tersenyum kecil, seolah tak ingin membahasnya lebih lanjut. "Jangan terlalu dipikirkan. Rumah ini memang sudah tua," katanya singkat.
Namun, aku tahu ada lebih banyak hal yang disembunyikan di balik senyuman nenek. Rahasia apa yang disimpan rumah ini? Mengapa lorong besar itu selalu terasa berbeda? Dan mengapa hanya aku yang merasa semua ini begitu nyata?
Aku hanya tahu satu hal: lorong besar itu bukan sekadar lorong biasa. Dan kamar baruku, meski menjadi tempat privasiku, mungkin tak akan pernah menjadi tempat yang benar-benar aman.
Aku baru menyadari bahwa kamar baruku berada di ujung lorong besar yang selama ini selalu kuhindari. Rumah kakek memang penuh keanehan, tetapi menempatkan kamarku tepat di ujung lorong itu terasa seperti mimpi buruk yang menjadi nyata. Lorong besar itu menjadi jalur yang harus kulewati setiap hari, dan setiap langkahku di sana selalu ditemani perasaan seolah-olah ada mata yang mengawasi.
Malam pertama di kamar baruku sudah cukup membuat bulu kudukku berdiri, namun ketika aku sadar bahwa lorong itu adalah bagian yang tak terpisahkan dari kamarku, ketakutanku semakin menjadi-jadi. Saat aku berdiri di ambang pintu kamar dan menatap ke arah lorong, pandanganku terasa terhisap ke dalam kegelapan yang tak berujung. Lorong itu bukan sekadar lorong; ia seperti sebuah jalan yang membawa rahasia yang tak ingin kuungkapkan.
Setiap malam, lorong itu seperti hidup. Angin dingin sering kali berembus tanpa alasan, membawa suara-suara aneh yang hanya bisa kudengar. Kadang seperti langkah kaki, kadang seperti bisikan yang memanggil namaku. Ada saat-saat di mana aku merasa lorong itu menjadi lebih panjang dari biasanya, seperti melarutkan semua batas ruang dan waktu.