Kamar yang kakek dan nenek hadiahkan untukku awalnya kurasa adalah tanda cinta mereka. Namun, semakin lama aku tinggal di sana, aku merasa seperti terjebak dalam ruang yang tak sepenuhnya milikku. Malam-malamku tak pernah benar-benar tenang. Setiap kali aku mencoba tidur, aku selalu merasa ada sesuatu yang mengintip dari balik pintu atau dari sudut gelap lorong.
Malam itu, aku terbangun lagi di tengah malam. Suasana rumah begitu sunyi, hingga aku bisa mendengar detak jantungku sendiri. Namun, sunyi itu tak lama bertahan. Perlahan, suara langkah kaki terdengar dari ujung lorong, mendekat perlahan.
Aku mencoba meyakinkan diriku bahwa itu hanya angin atau mungkin suara tikus yang berlari, tapi langkah itu terlalu berat, terlalu nyata.
Aku menatap ke arah pintu kamarku yang masih belum memiliki daun pintu yang layak. Pintu kayu sementara itu sedikit bergeser, seolah-olah dorongan halus dari lorong membuatnya terbuka perlahan. Aku memeluk selimutku erat, berusaha mengendalikan napasku yang mulai tak beraturan.
Ketika pintu itu terbuka sepenuhnya, aku bisa melihat lorong besar itu dengan jelas. Gelap, dingin, dan kosong. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Di ujung lorong, tepat di tengah-tengah kegelapan, aku melihat sosok hitam berdiri diam. Sosok itu terlalu tinggi untuk ukuran manusia biasa, dengan tubuh yang kurus dan kepala yang tampak seperti mengenakan mahkota runcing.
Aku memalingkan wajahku, memejamkan mata erat-erat sambil berdoa dalam hati. Namun, ketika aku membuka mata lagi, sosok itu sudah berada lebih dekat, hanya beberapa langkah dari pintu kamarku. Nafasku tercekat, tubuhku kaku. Aku ingin menjerit, tapi suaraku tak mau keluar.
Aku tidak tahu bagaimana malam itu berlalu. Aku hanya ingat terbangun di pagi hari dengan pintu kamar yang terbuka lebar, seolah-olah mengundang sesuatu untuk masuk. Kakek yang melihatku pagi itu hanya menatapku dengan wajah yang sulit kuartikan.
"Kamu sudah besar sekarang," katanya pelan sambil menepuk pundakku. "Ada banyak hal di rumah ini yang tak perlu kamu pahami sekarang. Tapi ingat, lorong itu... hormatilah apa pun yang ada di sana."
Kata-katanya membuatku semakin bingung sekaligus ketakutan. Hormat? Pada siapa? Pada apa? Rumah ini, lorong itu, dan semua rahasia yang tersembunyi di dalamnya semakin membuatku merasa terasing, bahkan dari diriku sendiri.
Aku mulai bertanya-tanya, apakah kepindahan kami ke desa ini adalah sebuah kebetulan? Atau mungkin ada sesuatu yang lebih besar sedang menantiku di sini? Sesuatu yang tak bisa kutolak, tak bisa kuhindari, seperti lorong itu sendiri.
Namun, harapanku sepertinya terlalu tinggi. Karena kejadian-kejadian itu justru semakin sering, semakin intens, dan semakin mendalam. Aku sadar, ada sesuatu yang tak bisa kuabaikan, sesuatu yang mulai mengambil alih kehidupanku, memaksa aku untuk menerima keberadaannya, suka atau tidak.