Awal dari Kejadian yang Menjadi-jadi
Kepindahanku dari hiruk pikuk Jakarta ke desa kecil yang terpencil telah mengubah hidupku secara drastis. Di balik keindahan alam dan ketenangan desa, aku dihadapkan pada sesuatu yang tak pernah kubayangkan sebelumnya: serangkaian kejadian aneh yang seolah enggan memberiku ruang untuk bernapas.
Saat usiaku beranjak menuju masa remaja dan tubuhku mulai mengalami perubahan, segala hal yang tak masuk akal itu semakin menjadi-jadi. Periode pertama menstruasi, yang seharusnya menjadi fase wajar bagi seorang gadis, justru menjadi awal dari rangkaian pengalaman yang semakin intens. Seakan-akan, ada sesuatu dari dalam diriku yang "membuka pintu" ke dunia yang tak kasat mata.
Malam-malam yang seharusnya menjadi waktu istirahat justru berubah menjadi panggung mimpi yang mencekam. Sosok-sosok asing sering muncul dalam mimpiku, tak sekadar sebagai bayangan, tetapi terasa begitu nyata. Aku terbangun dengan keringat dingin, napas tersengal-sengal, dan rasa takut yang tak bisa kujelaskan. Ada yang berbisik di telingaku, ada yang hanya berdiri di sudut kamar, memandangiku dengan tatapan yang membuat tubuhku merinding.
Bahkan saat tertidur lelap, aku bisa merasakan keberadaan mereka. Mereka hadir dalam berbagai bentuk: wanita dengan rambut panjang terurai dan tatapan sayu, anak kecil yang menangis di sudut gelap, hingga bayangan besar tanpa bentuk yang hanya berdiri tanpa suara. Satu hal yang selalu sama—mereka semua seperti memanggilku, meminta perhatian, meminta sesuatu dariku.
Pernah suatu malam, aku bermimpi berjalan di sebuah hutan gelap yang penuh kabut. Di tengah perjalanan, aku melihat sosok tinggi besar dengan wajah tak terlihat berdiri di depan sebuah pintu kayu tua yang penuh ukiran aneh. Saat aku mendekat, ia mengulurkan tangan besar ke arahku, seakan ingin aku masuk ke balik pintu itu. Aku menolak, mencoba berbalik, tetapi langkahku terasa berat, seolah-olah ada sesuatu yang menarikku ke arah pintu itu. Saat aku tersadar, tubuhku menggigil, dan aku menemukan bekas cakaran kecil di lengan kananku—entah dari mana asalnya.
Aku tidak bisa memahami apa yang terjadi. Di satu sisi, aku ingin berbicara pada orangtuaku, tetapi aku takut dianggap aneh atau bahkan membuat mereka khawatir. Di sisi lain, aku hanya bisa memendam semuanya sendiri, berharap semua ini akan berakhir.
Kepindahanku ke rumah kakek yang megah sekaligus menyeramkan di tengah desa semakin membuka babak baru dari perjalanan hidupku yang penuh misteri. Rumah itu adalah warisan keluarga yang sudah berdiri lebih lama dari usia kakekku sendiri. Dengan delapan kamar besar, dua pintu depan yang tinggi dan lebar menjulang, serta lorong panjang yang gelap dan dingin di tengahnya, rumah ini lebih menyerupai istana kecil yang sarat rahasia dibandingkan sekadar tempat tinggal biasa.
Sejak awal, aku selalu menghindari lorong besar itu. Entah mengapa, ada perasaan tak nyaman setiap kali aku harus melewatinya sendirian. Suasana lorong itu selalu terasa berbeda, bahkan di siang hari yang cerah. Bayangan dari dinding-dinding tua, bunyi derak kayu lantai yang seperti mengikutiku, dan hawa dingin yang seolah tak pernah hilang, membuatku enggan melangkah terlalu lama di sana.
Sebagai anak perempuan yang baru memasuki masa remaja, aku akhirnya diizinkan memiliki kamar sendiri. Kakek dan nenek, yang sangat menyayangiku, menghadiahkan sebuah kamar di sisi timur rumah itu. Aku awalnya begitu senang, membayangkan memiliki ruang pribadi yang bisa menjadi pelarianku dari keramaian. Namun, ada satu masalah besar: kamar itu belum memiliki pintu yang layak. Pintu sementara yang dipasang hanyalah sebuah papan kayu tua yang bisa dengan mudah bergeser jika tertiup angin.
Rumah ini sebenarnya sedang dalam tahap renovasi sejak keluarga kecilku pindah dari Jakarta untuk tinggal di sini. Kebangkrutan rumah makan yang dikelola orang tuaku memaksa kami meninggalkan kehidupan kota besar yang nyaman dan kembali ke desa, tempat kelahiran ibuku. Sebagai anak terakhir, ibu merasa tak punya pilihan selain mengikuti keinginan kakek untuk membesarkan aku dan adikku di sini.