Salahsatu peristiwa kekerasan di era Orde Baru terkait isu sekretarian adalah Tragedi Tanjung Priok yang terjadi pada 12 September 1984 yang mengakibatkan sejumlah korban tewas dan luka-luka serta sejumlah gedung rusak terbakar.
Menurut laporan resmi Pemerintah, setidaknya 9 orang tewas terbakar dalam kerusuhan tersebut dan 24 orang tewas oleh tindakan aparat. Salahsatunya Amir Biki, seorang aktivis Islam.
Kerusuhan ini akibat ketidakpuasan beberapa elemen ummat Islam terkait sikap arogan aparat keamanan merampas brosur yang mengkritik pemerintah di salah satu Mushola di kawasan Tanjung Priok.
Tragedi Tanjung Priok, merupakan peristiwa terkelam ummat Islam di massa Orde Baru. Peristiwa ini juga merupakan “titik nadir” hubungan ummat Islam dengan rezim Orde Baru.
Menurut pendapat petisi 50 yang dituangkan dalam “Lembaran Putih” insiden Tanjung Priok menyatakan: “Sesungguhnya tragedi Tanjung Priok sekadar penyulut (trigger) yang meledakkan ketegangan yang sudah lama membara di bawah permukaan stabilitas semu”
Sebab-sebab keresahan itu, menurut Lembaran Putih dapat dikembalikan kepada satu sumber, yaitu penyimpangan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan negara dari isi dan jiwa UUD 1945 yang memuncak pada satu paket lima Rancangan Undang-undang (RUU) tentang "penataan" kehidupan politik, terutama gagasan asas tunggal Pancasila. (Lukman Hakiem, Perjalanan Mencari Keadilan dan Persatuan Biografi DR. Anwar Harjono, SH. Jakarta, Media Dakwah, 1993.)
Aksi yang disebut pemerintahan Soeharto “ditunggangi” kelompok "Islam radikal" terjadi karena ketidakadilan yang diterima oleh ummat Islam Indonesia. Lagi-lagi tidak ada pengaruh global terkait tindakan radikal ditengah masyarakat Muslim Indonesia.
Sikap represif pemerintah Orde Baru terhadap ummat Islam di era 1970-1990 termasuk intervensi normalisasi kehidupan kampus menimbulkan kekecewaan dan rasa frustasi para aktivis Islam di kalangan mahasiswa.
Secara sistematis, rezim orde baru mengkebiri ummat Islam sebagai kekuatan politik independen baik ditengah masyarakat maupun dilingkungan perguruan tinggi, dan pada saat yang sama, banyak pemimpin Muslim ditarik masuk dalam patronase pemerintahan orde baru.
Akibat kekecewaan ini, banyak aktivis muda Islam yang tersebar di kampus-kampus mulai tertarik kepada model perjuangan Islamisme global seperti Ikhwanul Muslimin. Akhirnya di era 1980-1998 gerakan Ikhawanul Muslimin di kampus-kampus berkembang sangat pesat. Pemikiran-pemikiran baru Islamisme tumbuh di kampus akibat transmisi pemahaman ideologi (sudah dijelaskan dalam tulisan pertama).
2. Pendidikan dan Kesejateraan Ummat Islam Indonesia