Mohon tunggu...
Muhammad Ridwan
Muhammad Ridwan Mohon Tunggu... Relawan - Fungsionaris DPP Aliansi Nasional Indonesia Sejahtera (ANIES)

Orang biasa saja, seorang ayah, sejak tahun 2003 aktif dalam kegiatan community development. Blog : mediawarga.id e-mail : muh_ridwan78@yahoo.co.id

Selanjutnya

Tutup

Politik

Anatomi Radikalisme Islam di Indonesia [Bagian Kedua]

18 Januari 2016   23:55 Diperbarui: 19 Januari 2016   20:37 459
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Karikatur Akar Penyebab Radikalisme di Indonesia (Sumber: matanews.com)"][/caption]Pada tulisan  Anatomi Radikalisme Islam di Indonesia (Bagian Pertama)" dibahas transmisi pengaruh ide-ide Islamisme dan neofundamentalis karena pengaruh “Dimensi Global”.

Transmisi ide-ide tersebut ditransfromasikan melalui :  gerakan sosial, gerakan pendidikan dan dakwah, publikasi penerbitan dan internet serta perang di Timur-Tengah.

Transmisi ide-ide Islamisme ke Indonesia sebagian besar berlangsung satu arah, yakni dari Timur-Tengah ke Indonesia. kemudian, transmisi Islamisme ke Indonesia memiliki beberapa faktor penarik dan pendorong.

Faktor penariknya adalah Timur-Tengah sebagai “eficentrum” ilmu dan peradaban Islam sehingga banyak pelajar Indonesia berbondong-bondong menuntut ilmu di negara-negara teluk.

Sedangkan faktor pendorongnya adalah adanya kepentingan negara-negara Timur-Tengah di Indonesia untuk menyebarluaskan interpretasi Islamisme mereka dengan cara mendanai lembaga-lembaga pendidikan, membangun infrasruktur Islam seperti masjid, pesantren, sekolah dan madrasah, penerbitan berbagai publikasi kajian Islam melalui buku dan jurnal serta beasiswa belajar ke negara-negara Timur-Tengah.

Selain faktor “Dimensi Global”,  tumbuhnya radikalisme di Indonesia juga dipengaruhi oleh “Dimensi Lokal”, diantaranya :

1. Relasi antara Islam dan Negara

Sejak Indonesia merdeka sampai era orde baru, praktis Islamisme di Indonesia tidak berkembang. Di era Soekarno maupun Soeharto gerakan Islam “di kebiri” sebagai kekuatan politik.

Hal ini bermula dari pergumulan ideologis terkait asas negara Indonesia dalam sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia/Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI/PPKI).

Buya Syafii Maarif dalam bukunya yang berjudul “Islam dan Politik, Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin” menjelaskan dengan gamblang tentang perbedaan pandangan politik dalam BPUPKI/PPKI beberapa bulan menjelang Kemerdekaan Indonesia.

Isu paling krusial dalam perdebatan tersebut, ialah pembicaraan tentang ideologi negara Indonesia yang bakal lahir. Setelah kalimat pengiring Sila Pertama “Dengan Kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dicoret dari Pembukaan UUD 1945, pergumulan politik terkait isu politis-ideologis ini kemudian berdampak panjang dalam perjalanan sejarah modern Indonesia.

Implikasinya, karena tidak mengakui  asas negara yang bukan Islam, kelompok-kelompok Islam di Indonesia melakukan pemberontakan kepada Pemerintahan Soekarno yang dipelopori oleh Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII).

Pemberontakan DI/TII tercatat sebagai pemberontakan jihadis terbesar pertama di dunia Islam pada abad ke-20. DI/TII melakukan perlawanan kepada pemerintah pusat terjadi di enam provinsi, yang paling sengit terjadi di “Tatar Pasundan” Jawa Barat, mulai tahun 1948 sampai 1962. Diperkirakan korban tewas selama 15 tahun pemberontakan DI/TII berkisar 15.000 – 40.000 ribu orang.

Sampai kini cita-cita mendirikan Negara Islam Indonesia (NII) tetap menjadi aspirasi sebagian kemlompok masyarakat Indonesia. Gerakan DI/TII pasca kepemimpinan Kartosuwiryo telah bermetamorfosis menjadi gerakan bawah tanah sampai era 1970-an.

Selanjutnya gerakan bawah tanah ini dikenal dengan kelompok Negara Islam Indonesia (NII) yang dikemudian hari melalui tokohnya Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baasyir membentuk Jamaah Islamiyiah (JI) yang bersifat regional.

Menuru Greg Fealy dan Anthoni Bubalo (2007) dalam buku Jejak Kafilah, ada perbedaan mendasar antara DI/TII dan JI. DI/TII tidak memiliki satupun pendekatan salafi seperti JI. DI/TII merupakan gerakan pribumi yang tidak dipengaruhi gerakan Islamisme transnasional. Satu-satunya cita-cita politik DI/TII adalah mendirikan negara Islam di Indonesia.

Belajar dari pemberontakan DI/TII, gerakan jihadis berhaluan keras di Indonesia tidak selalu dipengaruhi oleh gerakan neofundamentalisme global dari Timur-Tengah.

Namun diakui dalam perjalananannya, DI/TII adalah penyuplai utama anggota JI. Di tubuh JI inilah bertemu cita-cita politik DI/TII untuk mendirikan negara Islam di Indonesia dengan cita-cita jihadis global. Bisa dikatakan JI adalah gerakan hibrida (perkawinan silang) dari kekuatan nasional dan  internasional.

Disinilah hebatnya gerakan jihadis global seperti Al-Qaeda dalam merangkul gerakan radikal regional seperti JI yang memiliki sifat-sifat lokal yang khas. Al-Qaeda memberikan ruang bagi JI masuk dalam jaringannya untuk memperjuangkan cita-cita Islamisme global, namun juga memberikan kesempatan kepada JI untuk mengejar agenda mereka sendiri yang lebih bersifat lokal.

Rekrutmen ala Al-Qaeda terhadap gerakan Islamisme regional ini juga digunakan oleh Islamic State of Irak and Suriah (ISIS) sekarang. Konon, peristiwa pemboman dan penembakan Sarinah pada Kamis (14/01/2016) memiliki tujuan hibrida. Pertama dalam rangka menunjukan eksistensi kelompok ISIS di Indonesia. Kedua, agar publik mengetahui bahwa kelompok DI/TII masih ada.

Radikalisme berkembang di Indonesia tidak hanya persoalan cita-cita mendirikan negara Islam, namun juga terkait kebijakan pemerintah sekuler yang sangat represif terhadap ummat Islam. Seperti penerapan asas tunggal  Pancasila di era Orde Baru pada awal tahun 1980-an.

Atas nama stabilitas nasional, pemerintah Orde Baru mewajibkan semua Ormas termasuk organisasi Islam berasaskan Pancasila. Tentu, ini meresistensi ummat Islam di Indonesia dan menimbulkan keresahan-keresahan dikalangan ummat. Akibatnya terjadi peristiwa kekerasan ditengah masyarakat yang di “triger” isu sekretarian.

Salahsatu peristiwa kekerasan di era Orde Baru terkait isu sekretarian adalah Tragedi Tanjung Priok yang terjadi pada 12 September 1984 yang mengakibatkan sejumlah korban tewas dan luka-luka serta sejumlah gedung rusak terbakar.

Menurut laporan resmi Pemerintah, setidaknya 9 orang tewas terbakar dalam kerusuhan tersebut dan 24 orang tewas oleh tindakan aparat. Salahsatunya Amir Biki, seorang aktivis Islam.

Kerusuhan ini akibat ketidakpuasan beberapa elemen ummat Islam terkait sikap arogan aparat keamanan merampas brosur yang mengkritik pemerintah di salah satu Mushola di kawasan Tanjung Priok.

Tragedi Tanjung Priok, merupakan peristiwa terkelam ummat Islam di massa Orde Baru. Peristiwa ini juga merupakan “titik nadir” hubungan ummat Islam dengan rezim Orde Baru.

Menurut  pendapat petisi 50 yang dituangkan dalam “Lembaran Putih” insiden Tanjung Priok menyatakan: “Sesungguhnya tragedi Tanjung Priok sekadar penyulut (trigger) yang meledakkan ketegangan yang sudah lama membara di bawah permukaan stabilitas semu” 

Sebab-sebab keresahan itu, menurut Lembaran Putih dapat dikembalikan kepada satu sumber, yaitu penyimpangan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan negara dari isi dan jiwa UUD 1945 yang memuncak pada satu paket lima Rancangan Undang-undang (RUU) tentang "penataan" kehidupan politik, terutama gagasan asas tunggal Pancasila. (Lukman Hakiem, Perjalanan Mencari Keadilan dan Persatuan Biografi DR. Anwar Harjono, SH. Jakarta, Media Dakwah, 1993.)

Aksi yang disebut pemerintahan Soeharto “ditunggangi” kelompok "Islam radikal" terjadi karena ketidakadilan yang diterima oleh ummat Islam Indonesia. Lagi-lagi tidak ada pengaruh global terkait tindakan radikal ditengah masyarakat Muslim Indonesia.

Sikap represif pemerintah Orde Baru terhadap ummat Islam di era 1970-1990 termasuk intervensi normalisasi kehidupan kampus menimbulkan kekecewaan dan rasa frustasi para aktivis Islam di kalangan mahasiswa.

Secara sistematis, rezim orde baru mengkebiri ummat Islam sebagai kekuatan politik independen baik ditengah masyarakat maupun dilingkungan perguruan tinggi, dan pada saat yang sama, banyak pemimpin Muslim ditarik masuk dalam patronase pemerintahan orde baru.

Akibat kekecewaan ini, banyak aktivis muda Islam yang tersebar di kampus-kampus mulai tertarik kepada model perjuangan Islamisme global seperti Ikhwanul Muslimin. Akhirnya di era 1980-1998 gerakan Ikhawanul Muslimin di kampus-kampus berkembang sangat pesat. Pemikiran-pemikiran baru Islamisme tumbuh di kampus akibat transmisi pemahaman ideologi (sudah dijelaskan dalam tulisan pertama).

2. Pendidikan dan Kesejateraan Ummat  Islam Indonesia

Walaupun secara kuantitas ummat Islam Indonesia menjadi mayoritas, namun secara ekonomi dan politik masih minoritas. Apalagi dibidang pendidikan, ummat Islam masih tertinggal dari ummat lainnya di Indonesia.

Kekayaan dan ekonomi Indonesia saat ini hanya dikuasai oleh 10-20 persen kelompok masyarakat yang sebagian besar adalah non-Muslim. Ini yang menyebabkan terjadinya kesenjangan sosial antara ummat Islam dengan ummat lainnya. Kesenjangan sosial ini kadang dijadikan isu politik yang berujung menjadi "kekerasan komunal" seperti kasus Ambon tahun 1999-2000.

Jika dikaji akar penyebab terjadinya radikalisme dan terorisme di Indonesia, semuanya bermuara kepada kemiskinan dan pendidikan. Kalau saja semua generasi muda Islam mendapat pendidikan formal yang cukup serta tingkat kesejahteraan ummat Islam memadai, yakin gerakan radikal tidak bisa tumbuh ditengah masyarakat Muslim.

Epilog

Mohammed Arkoun (1999) melihat fundamentalisme Islam sebagai dua tarikan berseberangan. Yakni, problem ideologisasi dan politis. Islam selalu  berada di tengahnya.  Bahwa fundamentalisme secara serampangan dipahami bagian substansif ajaran Islam. Sementara itu,  fenomena politik dan ideologi terabaikan. Memahami Islam merupakan aktivitas kesadaran yang meliputi konteks sejarah, sosial dan politik.

Demikian juga dengan memahami perkembangan fundamentalisme Islam. Tarikan politik dan sosial telah mambangun konstruksi ideologis dalam pikiran manusia. Islam tidak pernah menawarkan kekerasan atau radikalisme. Persoalan radikalisme selama ini hanyalah permainan kekuasaan yang mengental dalam fanatisme akut. Dalam sejarahnya, radikalisme lahir dari persilangan sosial dan politik. Radikalisme Islam Indonesia merupakan realitas tarikan berseberangan itu. (M. Zaki Mubarak, Geneologi Radikalisme Islam Indonesia, Jakarta, LP3ES, 2008)

Gerakan sosial, gerakan pendidikan dan dakwah, publikasi penerbitan dan internet secara tidak langsung memang berkontribusi menumbuhkan kelas terpelajar dengan pemahaman agama Islam yang baru di Indonesia, termasuk ide-ide neofundamenalisme, walaupun diakui banyak juga hal-hal positif  karena faktor-faktor tersebut.

Pertanyaanya, jika dikaji melalui “pohon masalah”, apa akar penyebab utama tumbuhnya radikalisme global dan lokal? 

Iya, penyumbang ideologi radikal, baik lokal maupun global adalah dominasi dan ketidakadilan terhadap dunia Islam khususnya oleh Amerika serikat ditingkat internasional maupun kaki-tangannya di tataran nasional. 

Bentuk imperialisme mengalami metamorfosis sejak berakhirnya perang dunia kedua.  Amerika Serikat dan sekutunya mendominasi di seluruh dunia, baik secara ekonomi, politik maupun militer. Secara ekonomi, dominasi itu ditancapkan melalui lembaga-lembaga seperti IMF dan WTO.

Sementara secara politis melalui pemimpin yang bisa dikendalikan dan dipengaruhi seperti yang terjadi di Irak, Libya, Afghanistan dan Palestina, dan secara militer dengan cara pendudukan negara-negara berdaulat di Timur Tengah dan Asia Selatan.  

Faktor-faktor inilah yang kemudian meresistensi ummat Islam secara global sehingga menumbuhkan kelompok-kelompok “Jihadis”. Gerakan neofundamentalisme ini tumbuh subur dimana-mana, termasuk di Indonesia. Selalu ada kausalitas atau sebab-akibat jika suatu peristiwa “terorisme” terjadi, karena tidak berdiri sendiri. (*)

Muhammad Ridwan, berdomisili di Bandar Lampung

Baca juga : Anatomi Radikalisme Islam di Indonesia [Bagian Pertama]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun